Jumat, 16 Oktober 2020

Mengenali Unsur-Unsur Prosa Fiksi

 

A.    Unsur-Unsur Prosa Fiksi




          Secara garis besar unsur-unsur prosal fiksi Nurgiyantoro (2000: 56) dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yang meliputi segala unsur yang membentuk struktur karya sastra tersebut seperti tema, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.

            Unsur ekstrinsik adalah unsur yang ikut mempengaruhi kehadiran suatu cipta sastra dari luar atau merupakan latar belakang penciptaan suatu cipta sastra, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor sejarah, faktor ilmu jiwa (psikologi) dan pendidikan, faktor keagamaan, dan tata nilai yang dianut dalam masyarakat.

            Berikut dipaparkan unsur-unsur intrinsik prosa fiksi yang meliputi tema, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.

 

a.      Tema

            Tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Istilah tema berasal dari thema (Inggris), yaitu ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan suatu dimensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Jadi, tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur (Zulfahnur, 1996:25).

            Dalam cerita rekaan ada yang diceritakan, atau yang diceritakan itu dapat dikatakan tema. Kata tema berasal dari kata latin thema yang berarti pokok pembicaraan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1986:104) dikemukakan bahwa tema berarti: (1) pokok pikiran, dasar cerita, (yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar pengarang, mengarang sejak dan sebagainya) dan (2) latihan menerjemahkan dari bahasa sendiri kebahasa asing.

            Sumardjo (1986:56) mengemukakan bahwa tema adalah ide pengarang. Pengarang dalam menulis cerita bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan suatu pendapat. Kenny dan Stanton (Nurgiantoro, 2000:67) mengemukakan bahwa tema adalah makna yang dikandung cerita yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Tema merupakan unsur yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita dibangun dan berakhir.

            Bertolak dari pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu persoalan atau pokok pembicaraan yang mendasari cerita.

               Secara garis besar , tema dapat digolongkan ke dalam tema utama (mayor) dan tema turunan (minor). Tema utama merupakan pokok cerita bermakna yang menjadi fondasi utama penceritaan, sedangkan tema turunan menjadi tema yang berfungsi menjadi penguat fondasi utama. Beberapa contoh tema utama adalah tema social (Para Piyayi), tema sejarah (Kuantar ke Gerbang), tema psikologis (Jalan Tak Ada Ujungnya), dan tema ketuhanan (Robohnya Surau Kami).          

b.      Alur/Jalan Cerita

            Alur cerita adalah sambung-sinambung peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat yang terdapat dalam cerita (Chamdiah dkk, 1981: 8). Hamzah (1985: 96) mengemukakan plot sebagai bagan atau kerangka kejadian dimana para peran berbuat. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa di dalam skenario. Serangkaian hubungan sebab akibat yang bergerak dari awal hingga akhir. Hal ini sejalan dengan pandangan Stanton (Nurgiantoro, 2000: 133) bahwa alur adalah cerita berisikan urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lainnya. Karena alur dibangun berdasarkan hubungan sebab akibat, maka alur tidak dapat berdiri sendiri. Plot selalu berhubungan dengan elemen lainnya, seperti watak, tokoh, setting, tema dan konflik.

            Menurut Tasrif (Nurgiantoro, 2000: 134) setiap cerita biasanya dapat dibagi dalam lima bagian, yaitu:

1.      Situation (pengarang mulai melukiskan suatu kejadian),

2.      Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),

3.      Rising action (keadaan mulai memuncak),

4.      Climax (puncak peristiwa) dan

5.      Denounement (pemecahan soal dari semua peristiwa).

            Bertolak dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah unsur penceritaan prosa fiksi yang didalamnya berisi rangkaian kejadian peristiwa yang disusun berdasarkan hokum sebab akibat secara logis.

            Secara kronologis alur dapat dibedakan menjadi dua yaitu alur maju dan alur mundur. Alur cerita yang dimulai masa kini, lalu diungkapkan masa atau rencana mendatang, disebut alur maju atau alur progresif. Alur cerita dengan tolehan dimasa lalu dikenal dengan nama sorot balik atau alur mundur. Kedua alur tersebut dapat dipakai secara bersama-sama atau digabungkan. Alur semacam ini lebih dikenal dengan alur campuran (Surana, 2001: 55).

 

c.       Tokoh dan Penokohan

a)      Tokoh

            Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh lazim pula disebut sebagai pelaku cerita. Tokoh ini pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh tersebut bersifat rekaan semata-mata, tetapi bisa jadi ada kemiripannya dengan individu tertentu dalam hidup ini. Meskipun bersifat rekaan, namun perlu ada relevansi antara tokoh itu dengan pembaca.


1)      Tokoh Sentral dan Tokoh Bawahan

            Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh bawahan. Pelaku utama atau yang memainkan peran pimpinan, yang lazim bertindak sebagai pembawa tema cerita disebut tokoh sentral atau protagonis. Pelaku yang tidak sentral, yang bertindak sebagai pelaku pendukung pelaku utama, dimana kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama disebut tokoh bawahan.

 

2)      Tokoh Datar dan Tokoh Bulat

            Nurgiyantoro (2000: 181-184) berpendapat bahwa cara menampilkan pengembangan watak tokoh-tokoh dalam cerita dapatlah dibedakan antara tokoh datar dantokoh bulat. Tokoh datar biasa pula disebut tokoh sederhana (simple atau  flat character), sedangkan tokoh bulat biasa disebut tokoh kompleks (complex atau round character)

            Tokoh datar ialah tokoh didalam cerita rekaan yang disoroti atau diungkapkan satu segi wataknya saja. Itulah sebabnya penampilan tokoh datar lebih statis, jarang atau sedikit sekali ditemukan perubahan wataknya dalam perkembangan cerita Nurgiyantoro (2000: 182). Lebih jauh Nurgiantoro (2000: 183) berpendapat bahwa tokoh bulat atau tokoh kompleks ialah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu ciri atau segi wataknya, sehingga tokoh itu bisa dibedakan dengan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh bulat tampil dengan watak yang kompleks terlihat segi kelebihan dan kekurangannya yang ditampilkan secara berangsur-angsur sehingga merupakan kekomplekan yang padu.

 

3)      Tokoh Protagonis

            Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, (Nurgiyantoro, 2000: 178). Tokoh protagonist menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, dan harapan-harapan kita.

            Sebagai tokoh protagonis akan mengalami konflik dan ketegangan. Ini disebabkan adanya tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonist. Konflik yang dialami tokoh protagonis tidak hanya yang disebabkan tokoh antagonis, namun dapat disebabkan oleh hal-hal yang diluar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, aturan-aturan sosial dan sebagainya.

 

4.      Tokoh Antagonis

            Tokoh antagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan kehendak pembaca. Dalam karya sastra tradisional biasanya pertentangan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis jelas sekali. Protagonis selalu mewakili yang baik, antagonis selalu mewakili yang jahat.

b)     Penokohan

            Sudjiman (1988:23) memberikan definisi bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh oleh pengarangnya. Watak tokoh itu adalah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain.

            Lebih lanjut Hudson (dalam Sudjiman, 1988: 24-26), dalam penyajian watak tokoh pengarang mempunyai cara tersendiri. Cara pengarang menyajikan watak tokoh dan menciptakan citra tokoh dalam karangannya merupakan metode penokohan. Macam-macam metode penokohan adalah sebagai berikut:

 

1)      Metode Analitis

            Metode analitis adalah cara pengarang memaparkan watak tokoh dalam cerita rekaan dengan menambahkan komentar tentang watak tokoh tersebut. Jadi pengarang dapat langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, pengarang langsung menyebut atau mengisahkan sifat-sifat tokoh, watak atau karakter tokoh, hasrat, pikiran dan perasaannya. Pengarang menyebutkan atau memberi komentar bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, kondisi fisik tokoh dan sebagainya. Semua itu digambarkan secara analitis, terperinci, halus dan meyakinkan. Metode ini biasa disebut metode langsung, metode perian, atau metode diskursif.

 

2)      Metode Dramatis

            Metode dramatis disebut pula metode tak langsung atau metode ragaan. Penggambaran perwatakan disampaikan secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung tetapi hal itu disampaikan melalui (1) pilihan nama tokoh, misalnya nama semacam Sarinem untuk babu, Mince untuk gadis agak-agak genit, Bonar untuk tokoh yang garang dan gesit dan seterusnya; (2) melalui penggambaran fisikatau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya; (3) melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.

            Dalam metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya.

 

3)      Metode Kontekstual

            Selain kedua metode penokohan di atas, terdapat pula metode kontekstual. Metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang mengacu kepada tokoh. Kalau misalnya pengarang menggambarkan lakuan tokoh A dengan kata-kata “Serigala itu menjilati seluruh tubuh wanita itu dengan pandangannya yang liar” dapat dikatakan bagaimana tokoh A tersebut.

 

a.      Latar

            Unsur fiksi yang menunjukkan pada kita dimana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar. Sebuah cerita haruslah terjadi di sebuah tempat dan pada waktu tertentu.

tumpu mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritaka.

            Dalam cerita fiksi, biasanya latar dibedakan empat tipe, yaitu latar alam (geographic setting), latar waktu (temporal setting), latar sosial (social setting), dan latar ruang (spatial setting).

            Latar berfungsi untuk menghidupkan cerita dan merupakan salah satu sarana untuk membangun suasana yakni suasana yang menimbulkan bayangan kesan atau tanggapan sepintas kepada para pembaca yang menikmati karya sastra tersebut sehingga apa yang dialami dan dirasakan oleh para pelaku dapat dirasakan juga oleh pembaca.

 

1)      Latar Tempat

Kehadiran latar tempat dalam cerpen bukan tanpa tujuan yang pasti. latar tempat mempengaruhi bagaimana kondisi sang tokoh diciptakan. Secara sederhana, latar tempat akan mempengaruhi gaya maupun emosi tokoh dalam berbicara. Contohnya, latar dengan situasi di gunung. Begitu pula latar dengan tempat yang khas, akan berbeda dengan kondisi tempat lainnya. Salah satu contohnya, tokoh yang hadir dengan nama Ujang, akan berbeda halnya dengan latar yang menggunakan tokoh ida bagus. Para pembaca cerpen sudah mempunyai pengetahuan awal mengenai kedua nama tersebut. Ujang berasal dari tanah Sunda adapun Ida Bagus berasal dari Bali.


2)      Latar Waktu

            Latar waktu menyangkut kapan cerita dalam cerpen terjadi. latar waktu mempengaruhi bagaimana cara tokoh bertindak. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan contoh perbedaan cerita, dengan latar yang terjadi zaman 1930-an dengan latar 2000-an. Hal ini dapat diamati dengan cara berbicara tokoh maupun kondisi lingkungan saat itu.

 

3)      Latar Sosial

            Latar sosial yang terjadi pada waktu kejadian didalam cerpen terwakili oleh tokoh. Seperti contoh pada cerpen “shalawat badar” maupun “kisah dikantor pos” dapat kita ketahui bagaimana setting sosial masyarakat kelas bawah mempengaruhi kita dalam mempengaruhi kita dalam menghadapi kenyataan sehari-hari di kehidupannya. Nilai kehidupan yang dapat kita ambil pun tentunya akan lain lagi jika menggunakan setting masyarakat kelas atas.

 

d.      Sudut Pandang

            Sudut pandang berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen. Cara yang dipilih oleh pengarang. Akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan watak dan pribadi si pencerita (pengarang), akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Tiap orang mempunyai pandangan hidup, cara berpikir, kepercayaan maupun sudut emosi yang berbeda-beda. Penentuan pengarang tentang soal siapa yang akan menceritakan kisah, akan menentukan bagaimana sebuah cerpen bisa terwujud.

            Sudut pandang pada intinya adalah visi pengarang. Sudut pandang yang diambil pengarang tersebut, berguna untuk melihat suatu kejadian cerita. Tentunya harus dibedakan antara pandangan pengarang sebagai pribadi dengan teknis dia bercerita dalam cerpen. Sudut pandang memegang peranan penting akan kejadian-kejadian yang akan disajikan dalam cerpen, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.

Adapun sudut pandang pengarang sendiri ada empat macam, yaitu sebagai berikut:

  

1)      Objective Point Of View

            dalam teknik ini, pengrang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dengan demikian, pembaca dapat menafsirkan sendiri bagaimana pandangannya terhadap laku tiap tokoh. Dengan melihat perbuatan orang lain tersebut, kita menilai kehidupan jiwanya, kepribadiannya, jalan pikirannya, ataupun perasaannya.

            Motif tindakan pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Dalam hal ini, pembaca dapat mengambil tafsiran sendiri dari dialog antar tokoh,  maupun tindak-tanduk yang dilakukan tiap tokoh. Penarang paling hanya memberikan sedikit gambar mengenai kondisi para tokoh, untuk “memancing” pembaca mengetahui lebih jauh tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.

 

2)      Omniscient Point Of View

            Dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan, untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya. Ia bisa keluar-masukkan para tokohnya. Ia bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku cerita. Pengarang juga bisa mmengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan, pengarang bisa bicara langsung dengan pembacanya.

            Ciri omniscient point of view lebih cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, ataupun humoris. Teknik ini biasa digunakan untuk hal-hal yang bersifat informatif bagi pembaca., yang kiranya memang pembaca belum begitu banyak mengetahui. 

           

3)      Point Of View Orang Pertama

            Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang “aku”. Hal ini seperti seseorang mengajak bicara pada orang lain. Jadi, bukan pengalaman orang lain yang diceritakan. Dengan teknik ini pembaca diajak kepusat kejadian, melihat, merasakan melalui mata, dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan. Tentunya pembaca juga harus cerdas jangan sampai pikiran “aku” disamakan dengan pikiran si pengarang itu sendiri.

            Teknik sudut pandang seperti ini, sangat cocok untuk cerpen menceritakan masalah kejiwaan (psikoligis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam tiap gerak emosi sang tokoh.

 

4)      Point Of View Orang Ketiga

            Teknik ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga (“Dia”) dapat juga berupa nama orang. Adapun perkembangan emosi tokoh dalam membentuk konflik, dapat dilihat dalam hubungannya antara tokoh utama “dia” dengan tokoh lain.

            Dengan menggunakan tokoh ini pengarang bisa lebih leluasa dalam menceritakan atau menggambarkan keadaan tanpa terpaku pada pandangan pribadi. Ini berbeda dengan menggunakan tokoh “aku”. Sang tokoh utama seolah-olah dapat berkembang sendiri, dengan pemikirannya sendiri. Dengan demikian, pembaca dibawa untuk memahami sendiri bagaimana tokoh “dia” bertindak, tanpa harus memikirkan peranan sang pengarang terhadap tokoh tersebut.

 

e.       Gaya Bahasa

            Gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk meningkatkan efek dalam jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Tarigan 1993: 5). Secara singkat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

            Mulyana (1996: 23) mengatakan bahwa gaya bahasa itu merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Menurut sumardjo dan saini (1986: 92) gaya bahasa adalah cara khas pengungkapan seorang. Cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya dalam karyanya. Dengan kata lain gaya bahasa adalah pribadi pengarang itu sendiri.

            Surana (2001: 12) arti gaya bahasa secara khusus ialah semacam cara menyatakan hal atau peristiwa yang sama. Tidak semua sastrawan memakai cara-cara yang sama untuk menyatakan suatu maksud yang sama sedangkan dalam arti luasa sebenarnya kiasan.

            Demikianlah sebenarnya berbicara tentang gaya bahasa adalah berbicara tentang kehidupan pemakaian bahasa yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan, tetapi efektif dan membangun lukisan deskripsi sesuatu secara konkrit dalam imajinasi. Keindahan disini adalah keseimbangan, proporsional, harmonisasi, dan menyatu keindahan bahasa, dicapai oleh susunan arti dan rasa yang tepat (ahmadi, 1991: 81).

 

f.       Amanat

            Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini pengarang “menitipkan” nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca. Amanat menyangkut, bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang dibaca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang dibacanya. Pesan-pesan dalam cerpen hadir secara tersirat dalam keseluruhan isi cerita.

            Berbicara tentang amanat sebuah cerita, Sudjiman (1988:57) mengemukakan bahwa dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca cerita yang ditampilkan. Seirama dengan hal tersebut Esten (1987:91) berpendapat bahwa amanat adalah pemecahan dan jalan keluar yang diberikan pengarang didalam sebuah karya sastra terhadap semua yang dikemukakan. Jadi amanat merupakan jalan keluar yang diberikan pengarang terhadap suatu permasalahan dalam cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengelola Informasi dalam Ceramah

 BAB III 1. Mengelola Informasi dalam Ceramah          Pernahkan kamu mendengar ceramah?          Apakah kamu suka ketika mendengar ceramah?...