Selasa, 26 Februari 2019

Kemampuan menulis cerpen siswa kelas x SMA Negeri 2 Unaaha

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bahasa Indonesia yang berkembang dewasa ini merupakan salah satu bagian penting dalam pendidikan. Dengan demikian pembinaan bahasa Indonesia hendaknya diarahkan pada keterampilan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Orientasi pengajaran bahasa Indonesia tersebut dapat dilakukan pada semua jenis dan jenjang pendidikan formal, yaitu dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia untuk pemberian mata pelajaran dan sastra Indonesia antara lain adalah: (1) sebagai peningkatan pengajaran dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya; (2) sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah; dan (3) sebagai sarana pengembangan penalaran (Depdikbud, 1994: 15).
Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu bagian dari karya sastra yang berbentuk prosa. Cerita pendek di Indonesia kian hari kian berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya buku-buku kumpulan cerita pendek maupun adanya kolom-kolom khusus di media massa yang memuat cerita pendek. Seiring dengan perkembangan yang terjadi zaman ini perlu adanya pengembangan dan pembelajaran yang mengarah pada keterampilan menulis cerita pandek yang baik dan menarik.
Tujuan pembelajaran menulis cerpen, siswa diharapkan dapat menulis cerpen secara tepat, baik menggunakan tanda baca, maupun penggunaan kalimatnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka dalam proses pembelajaran guru menugaskan pada siswa untuk memperbanyak latihan menulis cerpen sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan cerpen yang baik.
Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang perlu di kuasai siswa adalah menulis cerpen. Cerpen merupakan media komunikasi antara penulis dan pembaca. Dengan demikian, menulis merupakan bagian yang terpenting untuk menyalurkan gagasan yang menentukan cerpen tersebut bisa memikat hati pembaca atau tidak. Hal ini berarti pula bahwa semakin banyak seseorang menulis semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasai dan sanggup untuk diungkapkan.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Keraf, 1988: 34) bahwa tujuan tulis-menulis atau karang-mengarang adalah untuk mengungkapkan fakta gagasan, perasaan, sikap dan isi pikiran secara jelas dan efektif kepada pembaca. Agar komunikasi dapat terlaksana dengan baik, penulis hendaknya mengungkapkan gagasan kedalam bahasa yang teratur dan lengkap, termasuk penulisan bahasa Indonesia kedalam tulisan-tulisan secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang ingin dinyatakan dalam kalimat.
Mengingat pentingnya keterampilan menulis maka sudah sewajarnya pengajaran penulisan cerpen dibina dengan sebaik-baiknya. Pembinaan yang baik tidak saja menghasilkan siswa yang terampil tetapi juga dapat mengembangkan potensi menulis siswa dalam bahasa Indonesia yang baik dan efektif. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh siswa sehingga belum bisa menuangkan ide-ide kreatif mereka secara bebas dalam berekspresi sehingga belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Banyak kendala yang dihadapi ketika menulis cerpen, sulit menuangkan pikiran dan perasaan lewat tulisan yang disajikan, sehingga tulisan-tulisan yang dihasilkan terasa kaku, sulit untuk dipahami maksud dan tujuannya. Pemilihan kata dalam setiap tulisan harus mampu mewakili dan melukiskan apa yang menjadi tujuan dalam sebuah cerpen agar jelas gagasan yang hendak diungkapkan, pemilihan tema yang menarik dan pengembangan imajinasi yang baik.
Kelancaran komunikasi dalam kegiatan menulis bergantung pada bahasa yang dilambangvisualkan. Agar komunikasi melalui bahasa tulis seperti apa yang diharapkan, penulis hendaklah menuangkan gagasan kedalam bahasa Indonesia yang tepat, teratur dan lengkap. Sehubungan dangan hal tersebut sering kita mendengar bahwa bahasa yang teratur merupakan manivestasi pemikiran yang teratur pula. Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis maka perlu diadakan latihan dengan teratur agar siswa mampu menulis cerita pendek (cerpen) yang bermutu serta dapat dinikmati oleh penikmat karya sastra khususnya cerpen.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti merasa terpanggil untuk melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMAN 2  Unaaha”
Rumusan Masalah
Adapun masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMAN 2 Unaaha”.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMAN 2 Unaaha.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sebagai bahan masukan bagi guru dalam menyusun pengajaran bahasa Indonesia baik untuk alokasi waktu maupun untuk satuan pengajaran.
Sebagai sumbangan pikiran bagi guru bahasa Indonesia, khususnya menulis cerpen.
Untuk meningkatkan kualitas siswa dalam menulis khususnya cerpen sehingga siswa dapat memperluas wawasan baik secara teoritis maupun mengenai fakta-fakta yang diperolehnya.
Sebagai bahan pertimbangan bagi guru, siswa, mahasiswa ataupun pengambil kebijakan pada penelitian selanjutnya
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Pengertian Kemampuan Menulis
Kemampuan yang ada pada diri seseorang merupakan bakat yang paling pokok, dengan kemampuan yang dimilikinya seorang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Menurut Morsey (Tarigan, 1981:20), menulis merupakan salah satu ciri orang terpelajar yang dipergunakan untuk merekam, serta untuk meyakinkan orang lain dengan maksud baik.
Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut ( Tarigan, 1981; 21). Lebih lanjut dikemukakan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan dalam berkomunikasi  secara tidak langsung dengan orang lain.
Parera (1993: 4) menyatakan bahwa yang termasuk dalam kemampuan menulis adalah keterampilan menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, pengefektifan kalimat dan membahasakan pikiran dengan cermat, tepat, logis, konsisten.
Sedangkan ciri-ciri tulisan yang baik menurut Adelstein dan pival dalam Tarigan (1981:4), menyatakan bahwa ciri-ciri tulisan yang baik:
Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan seseorang penulis menggunakan nada yang serasi.
Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan seorang penulis untuk menyusun bahan yang tersedia menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan penulis untuk melukiskan dengan jelas dan tidak samar-samar, memanfaatkan struktur kalimat bahasa dan contoh-contoh sehingga maknanya sesuai dengan yang diinginkan.
Tulisan yang baik mencerminkan kebanggaan seseorang penulis dalam naskah mempergunakan ejaan dan tanda baca seksama, memberikan makna kata dan hubungan ketatabahasaan dalam kalimat-kalimat sebelum mengajukan kepada penulis.
Selanjutnya Peck dan Schulz sebagaimana dikutip dan dikemukakan oleh Tarigan (1981: 29) berpendapat bahwa kemampuan itu tidak datang dengan sendirinya, kemampuan menulis menuntut latihan yang cukup dan teratur serta pendidikan yang terprogram. Biasanya program dalam bahasa tulis yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut:
Membantu para siswa memahami bagaimana caranya ekspresi melayani mereka, dengan situasi-situasi dalam kelas yang memerlukan kegiatan menulis.
Mendorong para siswa mengekspresikan diri mereka secara bebas dalam tulisan.
Mengajar para siswa menggunakan bentuk yang tepat dan serasi dalam ekspresi.
Mengembangkan pertumbuhan bertahap dalam menulis serta dengan penuh keyakinan pada diri sendiri secara bebas.

Cerpen
Cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra yang isinya relatif tidak panjang. Namun dapat menampilkan persoalan hidup manusia dengan segenap lika-likunya. Cerpen dapat menggarap kesementaran dan kesewaktuan serta kesesaatan kita dalam menjalani hidup.
Menurut Soemardjo dan Saini (1986: 30) cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Kata pendek dalam batasan ini tidak jelas ukurannya. Ukuran pendek disini diartikan dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan pendek juga karena genre ini hanya mempunyai sifat tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.
Harry S. Canby (Zulfahnur dkk, 1996: 62) mengemukakan kesan yang satu dan hidup itulah seharusnya hasil dari sebuah cerpen. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bukanlah cerpen jika tidak ada sesuatu yang diceritakan. Dalam cerpen sesuatu senantiasa terjadi dan harus ada perbuatan (action). Dalam buku yang sama, Richard Summer mengatakan bahwa suatu sketsa pribadi, sebuah cetakan kejadian atau peristiwa, sebuah percakapan atau catatan harian bukanlah cerita pendek. Hal itu baru akan menjadi cerpen bila ada perubahan dalam sikap menulis dan tujuan pengarangnya. Bila hal itu dijadikan vignette suatu cerita tentang kejadian dalam penghidupan, maka itu dapat digolongkan cerpen.
Dari ciri-ciri di atas dapat dirumuskan suatu batasan, yaitu cerita pendek adalah bentuk prosa yang singkat, padat yang unsur ceritanya terpusat pada suatu peristiwa pokok, sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal.
Berbicara  tentang unsur-unsur cerpen, kita tidak dapat berpaling dari unsur-unsur fiksi karena pada dasarnya cerpen merupakan bagian dari fiksi. Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangunan cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri hanya berupa kata-kata. Karya fiksi yang demikian menampilkan dunia dalam kata, disamping juga dikatakan menampilkan dunia dalam kemungkinan.
Berbeda dengan jenis sastra lain, cerpen memiliki ciri-ciri: (1) cerita fiksi, (2) bentuk singkat dan padat, (3) ceritanya terpusat pada satu peristiwa/ konflik pokok, (4) jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan (5) keseluruhan cerita memberikan satu efek/ kesan tunggal. Menurut Esten (1987: 57) yang dimaksud dengan cerpen adalah pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia.
Sumarjo dan Saini (1986: 37) mengatakan bahwa ciri dasar pertama dalam cerpen adalah cerita yang pendek, ciri dasar yang lain adalah sifat kerekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, rekaan oleh pengarangnya. Meskipun cerpen hanyalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat terjadi semacam itu.
Ciri dasar cerpen yang selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah pencandaraan (deskripsi) atau argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi cerita. Namun tidak semua cerita dapat disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa (penggambaran tentang suatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga bentuk cerita namun semua itu didasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan telah terjadi.

Unsur-Unsur Prosa Fiksi
Secara garis besar unsur-unsur prosal fiksi Nurgiyantoro (2000: 56) dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yang meliputi segala unsur yang membentuk struktur karya sastra tersebut seperti tema, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang ikut mempengaruhi kehadiran suatu cipta sastra dari luar atau merupakan latar belakang penciptaan suatu cipta sastra, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor sejarah, faktor ilmu jiwa (psikologi) dan pendidikan, faktor keagamaan, dan tata nilai yang dianut dalam masyarakat.
Berikut dipaparkan unsur-unsur intrinsik prosa fiksi yang meliputi tema, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.

Tema
Tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Istilah tema berasal dari “thema” (Inggris), yaitu ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan suatu dimensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Jadi, tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur (Zulfahnur, 1996:25).
Dalam cerita rekaan ada yang diceritakan, atau yang diceritakan itu dapat dikatakan tema. Kata tema berasal dari kata latin thema yang berarti pokok pembicaraan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1986:104) dikemukakan bahwa tema berarti: (1) pokok pikiran, dasar cerita, (yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar pengarang, mengarang sejak dan sebagainya) dan (2) latihan menerjemahkan dari bahasa sendiri kebahasa asing.
Sumardjo (1986:56) mengemukakan bahwa tema adalah ide pengarang. Pengarang dalam menulis cerita bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan suatu pendapat. Kenny dan Stanton (Nurgiantoro, 2000:67) mengemukakan bahwa tema adalah makna yang dikandung cerita yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Tema merupakan unsur yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita dibangun dan berakhir.
Bertolak dari pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu persoalan atau pokok pembicaraan yang mendasari cerita.

Alur/Jalan Cerita
Alur cerita adalah sambung-sinambung peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat yang terdapat dalam cerita (Chamdiah dkk, 1981: 8). Hamzah (1985: 96) mengemukakan plot sebagai bagan atau kerangka kejadian dimana para peran berbuat. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa di dalam skenario. Serangkaian hubungan sebab akibat yang bergerak dari awal hingga akhir. Hal ini sejalan dengan pandangan Stanton (Nurgiantoro, 2000: 133) bahwa alur adalah cerita berisikan urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lainnya. Karena alur dibangun berdasarkan hubungan sebab akibat, maka alur tidak dapat berdiri sendiri. Plot selalu berhubungan dengan elemen lainnya, seperti watak, tokoh, setting, tema dan konflik.
Menurut Tasrif (Nurgiantoro, 2000: 134) setiap cerita biasanya dapat dibagi dalam lima bagian, yaitu:
Situation (pengarang mulai melukiskan suatu kejadian),
Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),
Rising action (keadaan mulai memuncak),
Climax (puncak peristiwa) dan
Denounement (pemecahan soal dari semua peristiwa).
Bertolak dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah unsur penceritaan prosa fiksi yang didalamnya berisi rangkaian kejadian peristiwa yang disusun berdasarkan hokum sebab akibat secara logis.
Secara kronologis alur dapat dibedakan menjadi dua yaitu alur maju dan alur mundur. Alur cerita yang dimulai masa kini, lalu diungkapkan masa atau rencana mendatang, disebut alur maju atau alur progresif. Alur cerita dengan tolehan dimasa lalu dikenal dengan nama sorot balik atau alur mundur. Kedua alur tersebut dapat dipakai secara bersama-sama atau digabungkan. Alur semacam ini lebih dikenal dengan alur campuran (Surana, 2001: 55).

Tokoh dan Penokohan
Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh lazim pula disebut sebagai pelaku cerita. Tokoh ini pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh tersebut bersifat rekaan semata-mata, tetapi bisa jadi ada kemiripannya dengan individu tertentu dalam hidup ini. Meskipun bersifat rekaan, namun perlu ada relevansi antara tokoh itu dengan pembaca.



Tokoh Sentral dan Tokoh Bawahan
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh bawahan. Pelaku utama atau yang memainkan peran pimpinan, yang lazim bertindak sebagai pembawa tema cerita disebut tokoh sentral atau protagonis. Pelaku yang tidak sentral, yang bertindak sebagai pelaku pendukung pelaku utama, dimana kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama disebut tokoh bawahan.

Tokoh Datar dan Tokoh Bulat
Nurgiyantoro (2000: 181-184) berpendapat bahwa cara menampilkan pengembangan watak tokoh-tokoh dalam cerita dapatlah dibedakan antara tokoh datar dantokoh bulat. Tokoh datar biasa pula disebut tokoh sederhana (simple atau  flat character), sedangkan tokoh bulat biasa disebut tokoh kompleks (complex atau round character)
Tokoh datar ialah tokoh didalam cerita rekaan yang disoroti atau diungkapkan satu segi wataknya saja. Itulah sebabnya penampilan tokoh datar lebih statis, jarang atau sedikit sekali ditemukan perubahan wataknya dalam perkembangan cerita Nurgiyantoro (2000: 182). Lebih jauh Nurgiantoro (2000: 183) berpendapat bahwa tokoh bulat atau tokoh kompleks ialah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu ciri atau segi wataknya, sehingga tokoh itu bisa dibedakan dengan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh bulat tampil dengan watak yang kompleks terlihat segi kelebihan dan kekurangannya yang ditampilkan secara berangsur-angsur sehingga merupakan kekomplekan yang padu.

Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, (Nurgiyantoro, 2000: 178). Tokoh protagonist menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, dan harapan-harapan kita.
Sebagai tokoh protagonis akan mengalami konflik dan ketegangan. Ini disebabkan adanya tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonist. Konflik yang dialami tokoh protagonis tidak hanya yang disebabkan tokoh antagonis, namun dapat disebabkan oleh hal-hal yang diluar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, aturan-aturan sosial dan sebagainya.

Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan kehendak pembaca. Dalam karya sastra tradisional biasanya pertentangan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis jelas sekali. Protagonis selalu mewakili yang baik, antagonis selalu mewakili yang jahat.
Penokohan
Sudjiman (1988:23) memberikan definisi bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh oleh pengarangnya. Watak tokoh itu adalah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain.
Lebih lanjut Hudson (dalam Sudjiman, 1988: 24-26), dalam penyajian watak tokoh pengarang mempunyai cara tersendiri. Cara pengarang menyajikan watak tokoh dan menciptakan citra tokoh dalam karangannya merupakan metode penokohan. Macam-macam metode penokohan adalah sebagai berikut:

Metode Analitis
Metode analitis adalah cara pengarang memaparkan watak tokoh dalam cerita rekaan dengan menambahkan komentar tentang watak tokoh tersebut. Jadi pengarang dapat langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, pengarang langsung menyebut atau mengisahkan sifat-sifat tokoh, watak atau karakter tokoh, hasrat, pikiran dan perasaannya. Pengarang menyebutkan atau memberi komentar bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, kondisi fisik tokoh dan sebagainya. Semua itu digambarkan secara analitis, terperinci, halus dan meyakinkan. Metode ini biasa disebut metode langsung, metode perian, atau metode diskursif.

Metode Dramatis
Metode dramatis disebut pula metode tak langsung atau metode ragaan. Penggambaran perwatakan disampaikan secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan langsung tetapi hal itu disampaikan melalui (1) pilihan nama tokoh, misalnya nama semacam Sarinem untuk babu, Mince untuk gadis agak-agak genit, Bonar untuk tokoh yang garang dan gesit dan seterusnya; (2) melalui penggambaran fisikatau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya; (3) melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.
Dalam metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya.

Metode Kontekstual
Selain kedua metode penokohan di atas, terdapat pula metode kontekstual. Metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang mengacu kepada tokoh. Kalau misalnya pengarang menggambarkan lakuan tokoh A dengan kata-kata “Serigala itu menjilati seluruh tubuh wanita itu dengan pandangannya yang liar” dapat dikatakan bagaimana tokoh A tersebut.

Latar
Unsur fiksi yang menunjukkan pada kita dimana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar. Sebuah cerita haruslah terjadi di sebuah tempat dan pada waktu tertentu.
tumpu mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritaka.
Dalam cerita fiksi, biasanya latar dibedakan empat tipe, yaitu latar alam (geographic setting), latar waktu (temporal setting), latar sosial (social setting), dan latar ruang (spatial setting).
Latar berfungsi untuk menghidupkan cerita dan merupakan salah satu sarana untuk membangun suasana yakni suasana yang menimbulkan bayangan kesan atau tanggapan sepintas kepada para pembaca yang menikmati karya sastra tersebut sehingga apa yang dialami dan dirasakan oleh para pelaku dapat dirasakan juga oleh pembaca.

Latar Tempat
Kehadiran latar tempat dalam cerpen bukan tanpa tujuan yang pasti. latar tempat mempengaruhi bagaimana kondisi sang tokoh diciptakan. Secara sederhana, latar tempat akan mempengaruhi gaya maupun emosi tokoh dalam berbicara. Contohnya, latar dengan situasi di gunung. Begitu pula latar dengan tempat yang khas, akan berbeda dengan kondisi tempat lainnya. Salah satu contohnya, tokoh yang hadir dengan nama Ujang, akan berbeda halnya dengan latar yang menggunakan tokoh ida bagus. Para pembaca cerpen sudah mempunyai pengetahuan awal mengenai kedua nama tersebut. Ujang berasal dari tanah Sunda adapun Ida Bagus berasal dari Bali.







Latar Waktu
Latar waktu menyangkut kapan cerita dalam cerpen terjadi. latar waktu mempengaruhi bagaimana cara tokoh bertindak. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan contoh perbedaan cerita, dengan latar yang terjadi zaman 1930-an dengan latar 2000-an. Hal ini dapat diamati dengan cara berbicara tokoh maupun kondisi lingkungan saat itu.

Latar Sosial
Latar sosial yang terjadi pada waktu kejadian didalam cerpen terwakili oleh tokoh. Seperti contoh pada cerpen “shalawat badar” maupun “kisah dikantor pos” dapat kita ketahui bagaimana setting sosial masyarakat kelas bawah mempengaruhi kita dalam mempengaruhi kita dalam menghadapi kenyataan sehari-hari di kehidupannya. Nilai kehidupan yang dapat kita ambil pun tentunya akan lain lagi jika menggunakan setting masyarakat kelas atas.

Sudut Pandang
Sudut pandang berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen. Cara yang dipilih oleh pengarang. Akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan watak dan pribadi si pencerita (pengarang), akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. Tiap orang mempunyai pandangan hidup, cara berpikir, kepercayaan maupun sudut emosi yang berbeda-beda. Penentuan pengarang tentang soal siapa yang akan menceritakan kisah, akan menentukan bagaimana sebuah cerpen bisa terwujud.
Sudut pandang pada intinya adalah visi pengarang. Sudut pandang yang diambil pengarang tersebut, berguna untuk melihat suatu kejadian cerita. Tentunya harus dibedakan antara pandangan pengarang sebagai pribadi dengan teknis dia bercerita dalam cerpen. Sudut pandang memegang peranan penting akan kejadian-kejadian yang akan disajikan dalam cerpen, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Adapun sudut pandang pengarang sendiri ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
 
Objective Point Of View
dalam teknik ini, pengrang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dengan demikian, pembaca dapat menafsirkan sendiri bagaimana pandangannya terhadap laku tiap tokoh. Dengan melihat perbuatan orang lain tersebut, kita menilai kehidupan jiwanya, kepribadiannya, jalan pikirannya, ataupun perasaannya.
Motif tindakan pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Dalam hal ini, pembaca dapat mengambil tafsiran sendiri dari dialog antar tokoh,  maupun tindak-tanduk yang dilakukan tiap tokoh. Penarang paling hanya memberikan sedikit gambar mengenai kondisi para tokoh, untuk “memancing” pembaca mengetahui lebih jauh tentang tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.

Omniscient Point Of View
Dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan, untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya. Ia bisa keluar-masukkan para tokohnya. Ia bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku cerita. Pengarang juga bisa mmengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan, pengarang bisa bicara langsung dengan pembacanya.
Ciri omniscient point of view lebih cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, ataupun humoris. Teknik ini biasa digunakan untuk hal-hal yang bersifat informatif bagi pembaca., yang kiranya memang pembaca belum begitu banyak mengetahui.

Point Of View Orang Pertama
Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang “aku”. Hal ini seperti seseorang mengajak bicara pada orang lain. Jadi, bukan pengalaman orang lain yang diceritakan. Dengan teknik ini pembaca diajak kepusat kejadian, melihat, merasakan melalui mata, dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan. Tentunya pembaca juga harus cerdas jangan sampai pikiran “aku” disamakan dengan pikiran si pengarang itu sendiri.
Teknik sudut pandang seperti ini, sangat cocok untuk cerpen menceritakan masalah kejiwaan (psikoligis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam tiap gerak emosi sang tokoh.

Point Of View Orang Ketiga
Teknik ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga (“Dia”) dapat juga berupa nama orang. Adapun perkembangan emosi tokoh dalam membentuk konflik, dapat dilihat dalam hubungannya antara tokoh utama “dia” dengan tokoh lain.
Dengan menggunakan tokoh ini pengarang bisa lebih leluasa dalam menceritakan atau menggambarkan keadaan tanpa terpaku pada pandangan pribadi. Ini berbeda dengan menggunakan tokoh “aku”. Sang tokoh utama seolah-olah dapat berkembang sendiri, dengan pemikirannya sendiri. Dengan demikian, pembaca dibawa untuk memahami sendiri bagaimana tokoh “dia” bertindak, tanpa harus memikirkan peranan sang pengarang terhadap tokoh tersebut.

Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk meningkatkan efek dalam jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Tarigan 1993: 5). Secara singkat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Mulyana (1996: 23) mengatakan bahwa gaya bahasa itu merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Menurut sumardjo dan saini (1986: 92) gaya bahasa adalah cara khas pengungkapan seorang. Cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya dalam karyanya. Dengan kata lain gaya bahasa adalah pribadi pengarang itu sendiri.
Surana (2001: 12) arti gaya bahasa secara khusus ialah semacam cara menyatakan hal atau peristiwa yang sama. Tidak semua sastrawan memakai cara-cara yang sama untuk menyatakan suatu maksud yang sama sedangkan dalam arti luasa sebenarnya kiasan.
Demikianlah sebenarnya berbicara tentang gaya bahasa adalah berbicara tentang kehidupan pemakaian bahasa yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan, tetapi efektif dan membangun lukisan deskripsi sesuatu secara konkrit dalam imajinasi. Keindahan disini adalah keseimbangan, proporsional, harmonisasi, dan menyatu keindahan bahasa, dicapai oleh susunan arti dan rasa yang tepat (ahmadi, 1991: 81).




Amanat
Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini pengarang “menitipkan” nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca. Amanat menyangkut, bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang dibaca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang dibacanya. Pesan-pesan dalam cerpen hadir secara tersirat dalam keseluruhan isi cerita.
Berbicara tentang amanat sebuah cerita, Sudjiman (1988:57) mengemukakan bahwa dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca cerita yang ditampilkan. Seirama dengan hal tersebut Esten (1987:91) berpendapat bahwa amanat adalah pemecahan dan jalan keluar yang diberikan pengarang didalam sebuah karya sastra terhadap semua yang dikemukakan. Jadi amanat merupakan jalan keluar yang diberikan pengarang terhadap suatu permasalahan dalam cerita.

D. Diksi/ Pilihan Kata
Diksi menurut keraf (1983: 45) adalah:
Diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan bagaimana membentuk kelompok kata-kata yang tepat untuk menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat dan gaya bahasa yang paling baik digunakan dalam suatu kalimat.
Diksi kemampuan membedakan secara tepat  nuansa-nuansa makna sari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.
Parera (1987: 42), mengemukakan bahwa diksi memegang peranan penting dan utama dalam mencapai efektifitas penulisan. Dalam menyusun suatu kalimat haruslah dipilih kata-kata yang tepat, seksama dan lazim dipakai yang sesuai dengan makna lingkungan yang dikehendaki.
Contoh:
Bersama surat ini saya lampirkan…….(selain surat, juga ada sesuatu yang dikirim).
Dengan surat ini saya memberitahukan, bahwa……(hanya surat saja yang dikirim).
Adik diberi (bukan dikasih) pisang goreng oleh (bukan sama) ibu.
Idul fitri adalah hari raya ( bukan agung) umat Islam.



BAB III
METODE PENELITIAN

Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kelas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif kuantitatif yaitu memaparkan suatu permasalahan seperti apa adanya dan menganalisis data dengan metode statistik (model persentase).

Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas  X c, SMAN 2 Unaaha, kabupaten Konawe yang berjumlah 38 orang siswa, yang mengikuti pembelajaran berjumlah 26 orang siswa selebihnya tidak hadir dan sebagian mengikuti kegiatan diluar sekolah.

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMAN 2 Unaaha meliputi ketepatan tema dengan isi cerpen, penentuan alur, tokoh dan penokohan, latar dan diksi.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data, setelah mengumpulkan siswa kedalam kelas, peneliti memberikan penjelasan singkat kepada siswa tentang penulisan cerpen baik tema, tokoh dan jalan ceritanya, kemudian siswa mulai menulis cerpen sesuai imajinasi mereka.
Langkah-langkah dalam mengumpulkan data pada penelitian ini adalah:
Mengumpulkan siswa dalam kelas,
Memberikan penjelasan singkat tentang cerpen,
Memberikan lembar kerja kepada siswa,
Siswa mengerjakan tugas yang diberikan,
Mengumpulkan lembar kerja siswa,
Memeriksa cerpen dengan menganalisis setiap indikatornya.

Teknik Analisis Data
Data yang telah dikoreksi dan diuji tersebut ditabulasikan atau dimasukkan kedalam tabel, dalam hal ini kemampuan siswa dalam menulis cerpen sehingga dapat tergambar siswa yang sangat mampu, mampu, cukup mampu, kurang mampu dan tidak mampu. Selanjutnya dipresentasekan kemampuan siswa, apabila nilainya mencapai 70 ke atas dikategorikan siswa yang berkemampuan cukup mampu. Sementara yang memperoleh nilai kurang dari 70 dikategorikan siswa yang tidak mampu dan dianggap pembelajarannya tidak tuntas. Nilai KKM Bahasa Indonesia di SMAN 2 Unaaha adalah 70.



Tabel 1 Kriteria Penilaian
Kategori
Rentangan
Tingkat Kemampuan

A. Sangat mampu
4
86%-100%

B. Mampu
3
75%-85%

C. Cukup mampu
2
60%-74%

D. Kurang mampu
1
0%-59%


Rumus yang digunakan dalam analisis data ini adalah menggunakan rumus kemampuan menulis cerpen ialah:
( f x 100%
P  =                
     N
Keterangan :
P : Tingkat Kemampuan
(f : jumlah skor yang diperoleh siswa
N : jumlah skor maksimal






BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan data hasil analisis deskripsi yang menggambarkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen melalui tes yang meliputi; ketepatan tema dengan isi cerita, alur, tokoh dan penokohan, latar dan diksi.. Untuk mengetahui hal tersebut maka akan dijelaskan melalui pembahasan berikut ini.

Ketepatan Tema dengan Isi Cerpen
Berdasarkan hasil sebaran nilai ketepatan tema dengan isi cerpen (lihat lampiran 2) maka telah ditemukan bahwa siswa yang kurang mampu yang mendapat nilai 1 berjumlah 9 orang siswa (34,6%), siswa yang cukup mampu yang mendapat nilai 2 berjumlah 8 orang siswa (30,7%), siswa yang mampu yang mendapat nilai 3 berjumlah 8 orang siswa (30,7%) dan siswa yang sangat mampu yang mendapat nilai 4 berjumlah 1  orang siswa (3,8%). Dan secara keseluruhan didapatkan bahwa 17 (65,3%) siswa Kelas Xc SMAN 2 Unaaha telah mampu menulis cerpen dengan tema dan isi cerpen yang tepat, dan sisanya 9 (34,6%) siswa belum mampu dengan nilai rata-rata keseluruhan 71%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:





Tabel 2
Rata-Rata Skor Nilai Ketepatan Tema dengan Isi Cerpen
No
Nilai
Jumlah responden
Hasil perkalian
Pesentase

1
4
5
20
19,3%

2
3
4
12
15,4%

3
2
8
16
30,7%

4
1
9
9
34,6%

jumlah
26
57
100%


Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas Xc SMAN 2 Unaaha dalam menulis cerpen pada aspek ketepatan tema tergolong baik atau mencapai target sebab jumlah siswa yang mampu berjumlah 17 orang siswa (65,3%)>65% dengan nilai rata-rata kemampuan keseluruhan mencapai 71%.
Alur Cerpen

Berdasarkan hasil sebaran nilai kemampuan siswa menulis cerpen dari aspek alur cerpen (lihat lampiran 3) maka telah ditemukan bahwa siswa yang kurang mampu yang mendapat nilai 1 adalah 12 orang siswa (46,1%), siswa yang cukup mampu yang mendapat nilai 2 adalah 7 orang siswa (27%), siswa yang mampu yang mendapat nilai 3 adalah 5 orang siswa (19,2%) dan siswa yang sangat mampu yang mendapat nilai 4 adalah 2 orang siswa (7,7%). Dan secara keseluruhan didapatkan bahwa 14 (53,8%) siswa Kelas Xc SMAN 2 Unaaha telah mampu menulis cerpen dengan alur yang baik, dan sisanya 12 (46,1%) siswa belum mampu dengan nilai rata-rata keseluruhan mencapai 69%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3
Alur Cerpen

No
nilai
Jumlah responden
Hasil perkalian
Rata-rata

1
4
2
8
7,7%

2
3
5
15
19,2%

3
2
7
14
27%

4
1
12
12
46,1%

jumlah
26
49
100%


Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa Kelas Xc SMAN 2 Unaaha dalam menggunakan alur cerpen belum tergolong baik atau  belum mencapai target sebab jumlah siswa yang mampu hanya berjumlah 14 (53,8%) <65% dengan nilai rata-rata keseluruhan mencapai 69%.
Pelukisan Tokoh dan Penokohan

Berdasarkan hasil sebaran nilai pelukisan tokoh dan penokohan (lihat lampiran 4) maka telah ditemukan bahwa siswa yang kurang mampu yang mendapat nilai 1 adalah 11 orang siswa (42,3%), siswa yang cukup mampu yang mendapat nilai 2  adalah 7 orang siswa (27%), siswa yang mampu yang mendapat nilai 3 adalah 7 orang siswa (27%), dan siswa yang sangat mampu yang mendapat nilai 4 adalah 1 orang siswa (3,8%). Dan secara keseluruhan didapatkan bahwa 15 (57,7%) Siswa kelas Xc SMAN 2 Unaaha telah mampu melukiskan tokoh dan penokohan dan sisanya 11 orang siswa (42,3%) belum mampu dengan nilai rata-rata keseluruhan mencapai 68%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:















Tabel 4
Pelukisan Tokoh dan Penokohan
No
Nilai
Jumlah responden
Hasil perkalian
Persentase

1
4
1
4
3,8%

2
3
7
21
27%

3
2
7
14
37%

4
1
11
11
42,3%

jumlah
26
50
100%


Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan melukiskan tokoh dan penokohan siswa kelas Xc SMAN 2 Unaaha belum tergolong baik atau belum mencapai target, sebab jumlah siswa yang mampu hanya berjumlah 15 orang (57,7%) <65% dengan rata-rata kemampuan keseluruhan mencapai 68%.
Pelukisan Latar

Berdasarkan hasil sebaran nilai pelukisan latar dalam cerpen siswa  (lihat lampiran 5) maka telah ditemukan bahwa siswa yang kurang mampu yang mendapat nilai 1 adalah 10 orang siswa (38,4%), siswa yang cukup mampu yang mendapat nilai 2 adalah 9 orang siswa (34,6%), siswa yang mampu yang mendapat nilai 3 adalah 3 orang siswa (11,5%) dan siswa yang sangat mampu yang mendapat nilai 4 adalah 4 orang siswa (15,4%). Dan secara keseluruhan didapatkan bahwa 16 (61,5%) Siswa Kelas Xc SMAN 2 Unaaha dalam pelukisan latar telah mampu dan sisanya 10 (38,4%) siswa belum mampu dengan rata-rata kemampuan keseluruhan mencapai 68,8%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini:

Tabel 5
Pelukisan Latar
No
Nilai
Jumlah responden
Hasil perkalian
Persentase

1
4
4
16
15,4%

2
3
3
9
11,5%

3
2
9
18
34,6%

4
1
10
10
38,4%

Jumlah
26
75
100%







Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas Xc SMAN 2 Unaaha dalam melukiskan latar di dalam cerpen yang mereka tulis belum tergolong mampu atau belum mencapai target sebab jumlah siswa yang mampu hanya berjumlah 16 (61,5%) <65% dengan rata-rata kemampuan siswa mencapai 68,8%.

Penggunaan Diksi

Berdasarkan hasil sebaran nilai ketepatan penggunaan diksi (lihat lampiran 6) maka telah ditemukan bahwa siswa yang kurang mampu yang mendapat nilai 1 adalah 6 orang siswa (23%), siswa yang cukup mampu yang mendapat nilai 2 adalah 14 orang siswa (53,8%), siswa yang mampu yang mendapat nilai 3 adalah 4 orang siswa (15,4%) dan siswa yang sangat mampu yang mendapat nilai 4 adalah 2 orang siswa (7,7%). Dan secara keseluruhan didapatkan bahwa 20 orang siswa (77%) telah mampu menggunakan diksi dan sisanya 6 (23%) belum mampu dengan rata-rata kemampuan keseluruhan mencapai 72,3%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6
Penggunaan Diksi
No
Nilai
Jumlah responden
Hasil perkalian
Persentase

1
4
2
10
7,7%

2
3
4
16
15,4%

3
2
14
42
53,8%

4
1
6
6
23%

Jumlah
26
74
100%

Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa Kelas Xc SMAN 2 Unaaha dalam pengguanaan diksi tergolong mampu atau mencapai target sebab jumlah siswa yang mampu berjumlah 20 (77%) >65% dengan rata-rata kemampuan siswa mencapai 72,3 %.
Interpretasi hasil penelitian
Berdasarkan hasil analisis dari aspek tema, alur, tokoh, latar dan diksi (lihat lampiran 7) dalam menulis cerpen berdasarkan daya serap minimal 65% telah ditemukan jumlah siswa yang mencapai kategori mampu pada aspek ketepatan tema dengan isi cerpen adalah 17 (65,3%) siswa dan sisanya 9 (34,6%) siswa tidak mampu sehingga bila dilihat berdasarkan kriteria kemampuan daya serap minimal telah mencapai target sebab nilai perolehan kemampuan mencapai 65,3%>65%.
Selanjutnya pada aspek kemampuan menggunakan alur jumlah siswa yang mampu adalah 14 (53,8%) siswa, dan sisanya 12 (46,1%) siswa belum mampu menggunakan alur, sehingga hasilnya belum mencapai target sebab nilai siswa yang mencapi level mampu hanya 53,8%<65%.
Pada kemampuan siswa melukiskan tokoh dan penokohan jumlah siswa yang mampu adalah 15 (57,7%) siswa dan sisanya 11 (42,3%) siswa belum mampu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa belum mencapai target sebab nilai kemampuan siswa yang mencapai level mampu hanya 57,7%<65%.
Untuk kemampuan siswa dalam pelukisan latar jumlah siswa yang mampu adalah 16 (61,5%) siswa sedangkan sisanya sebanyak 10 (38,4%) siswa belum mampu melukiskan latar, sehingga dapat dikatakan belum mencapai target sebab nilai kemampuan siswa yang mencapai level mampu belum melampaui daya serap minimal yaitu 61,5%<65%.
Aspek yang terakhir yaitu kemampuan siswa menggunakan diksi jumlah siswa yang dikatakan mampu adalah 20 (77%) siswa dan sisanya 6 (23%) siswa belum mampu menggunakan diksi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa telah mencapai target karena persentase siswa yang mampu lebih besar dari daya serap minimal yaitu 77%>65%.

Pembahasan Hasil Penelitian
Berikut ini akan dijelaskan hasil penelitian kemampuan menulis cerpen diantaranya adalah :

Ketepatan Tema
Ketepatan tema yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesesuaian tema yang diangkat dalam cerpen dengan isi cerpen itu sendiri.
Isi cerita dalam cuplikan cerpen siswa dengan no. responden 024  tidak sesuai dengan gambaran tema yang diambil, cerpen tersebut lebih menggambarkan situasi dimana sekelompok anak remaja iseng dengan ulah mereka yang nakal.
Sebagai contoh:
“pada malam hari pergi menjalankan misi yaitu “mengintip”.”
Dari kalimat di atas tidak tergambar apa yang menjadi pokok pembicaraan atau tema yang dipilih oleh siswa yaitu tentang “lingkungan”, tetapi yang tergambar jelas adalah ulah sekelompok anak-anak nakal “mengintip”.

Alur Cerita
Alur adalah unsur penceritaan prosa fiksi yang didalamnya berisi rangkaian kejadian peristiwa yang disusun berdasarkan hukum sebab akibat secara logis. Dalam hal ini apakah cerpen siswa memenuhi kriteria di atas atau tidak
Dari cerpen yang ditulis siswa dengan no. responden 014 diceritakan mereka membawa bekal berupa makanan, tetapi cerita ini tidak dipertegas dari awal bahwa ada sesuatu yang mereka bawa ketika mereka melakukan perjalanan, hal ini mengurangi daya tarik cerpen itu sendiri, tidak adanya sebab tetapi tiba-tiba muncul akibat.
“sekitar jam sepuluh malam kami berangkat. Hasil tangkapan kami sangat memuaskan yaitu banyak belut yang besar-besar.”
Cerpen ini menimbulkan pertanyaan dan tidak ada kejelasan dengan cara apa mereka menangkap ikan, ditengah hutan tentu sulit menemukan tempat untuk mencari ikan, dengan peralatan seadanya mustahil mereka bisa dengan mudah mendapatkan banyak belut apalagi mereka berangkat pukul sepuluh malam, hal ini membuat cerita ini menjadi tidak logis.


Tokoh dan Penokohan
Sebuah cerpen menyajikan realita, kejadian atau kehidupan yang diceritakan lewat tulisan. Di dalamnya terdapat tokoh yang diceritakan, penokohan yang baik akan memperkuat isi dari cerpen itu sendiri. Dari cerpen karya siswa dengan no. responden 020 tidak memenuhi kriteria sebuah cerpen, karena tidak mampu menggambarkan tokoh yang berperan dalam cerita tersebut, dalam sebuah cerpen harus ada tokoh yang diceritakan.

Latar
Latar berfungsi untuk mempertegas suatu kejadian atau peristiwa yang sedang diceritakan.
Cerpen karya siswa dengan no.responden (020) misalnya tidak memenuhi kriteria sebuah cerpen yang baik dan benar. Dalam cerpen harus ada latar yang menentukan dimana terjadinya, kapan kejadiannya, dan bagaimana suasananya. Dalam hal ini siswa belum mampu menggambarkan latar tersebut, sehingga cerpen karya siswa diatas belum memenuhi syarat sebagai sebuah cerpan.

Pilihan Kata (Diksi)
Contoh data kesalahan diksi
Tapi apabila Asri semua itu dibandingkan kasih sayang dari orang tua yang tidak tara dan sukar sekali didapatkan Asri.(7)
Cerita ini bermula sudah beberapa tahun yang lalu (21)
Karena itu semua itu memang terjadi (24)
Suatu ketika teman saya disuruh oleh ibunya (8)
Dengan paniknya sang ibu ia lalu lari berteriak minta tolong (8)
Aku selalu memperingatinya agar mau di operasi (9)
Tetapi saya dianggap pintar kepada guru-guru (22)
Dan lingkungan yang bersih membuat kita rentan terhadap penyakit (3)
Melihat di sekeliling sekitar saya banyak yang suka mengkonsumsi narkoba (6)
Penjelasan data kesalahan diksi
Kesalahan pada data a yaitu karena menggunakan kata apabila asri (posisi tidak tepat) seharusnya apalah arti, kemudian pada kata tidak tara dan sukar sekali didapatkan Asri (rancu) seharusnya menggunakan kalimat tiada tara yang sulit didapatkan Asri. Sehingga kalimat tersebut lebih jelas maknanya.
Kesalahan pada data b yaitu karena menggunakan kata bermula sudah, kata tersebut tidak tepat pemakaiannya, seharusnya menggunakan kata terjadi sehingga kalimat tersebut menjadi jelas.
Kesalahan pada data c yaitu karena menggunakan kata itu, seharusnya tidak menggunakan kata itu karena sudah ada kata semua itu, hal ini hanya mengakibatkan terjadinya pemborosan kata/ pleonasme.
Kesalahan pada data d yaitu karena menggunakan kata suatu ketika, yang bermakna tidak diketahui dengan pasti kapan peristiwa itu terjadi, seharusnya menggunakan kata  satu jam yang lalu, dua hari yang lalu, minggu lalu atau yang lainnya yang bisa menjelaskan dengan tepat kapan kejadian itu terjadi.
Kesalahan pada data e yaitu karena menggunakan kalimat ia lalu lari, kata tersebut tidak tepat, seharusnya diganti dengan berlari sambil sehingga kalimatnya tidak rancu.
Kesalahan pada data f yaitu karena menggunakan kata memperingatinya, seharusnya menggunakan kata mengingatkannya, membujuknya, atau yang lainnya yang bisa memperjelas maksud dari kalimat tersebut.
Kesalahan pada data g yaitu pada kata kepada (posisi tidak tepat), seharusnya menggunakan kata oleh untuk konteks kalimat tersebut.
Kesalahan pada data h yaitu pada kata rentan (posisi tidak tepat), seharusnya menggunakan kata terhindar untuk konteks kalimat tersebut.
Kesalahan pada data i yaitu pada kata sekeliling, seharusnya tidak perlu menggunakan kata tersebut karena sudah dipertegas dengan kata sekitar yang berarti mencakup lingkungan sekitar atau sekeliling.






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan beberapa kesimpulan terkait dengan kemampuan siswa dalam menulis cerpen dari aspek ketepatan tema, alur, tokoh dan penokohannya, latar dan diksi/pilihan kata sebagai berikut :
Siswa yang mencapai nilai mampu pada aspek ketepatan tema dengan isi cerita adalah 17 (65,3%) siswa sehingga mencapai target yang ditentukan >65%.
14 (53,8%) siswa mencapai level mampu sehingga disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menentukan alur belum mencapai target yang ditentukan <65%.
15 (57,7%) siswa mencapai level mampu dan hal ini menjelaskan bahwa kemampuan siswa pada aspek pelukisan tokoh belum mencapai target <65%.
16 (61,5) siswa yang mencapai level mampu hal ini menjelaskan bahwa kemampuan siswa dalam menentukan latar belum mampu atau belum mencapai target <65%.
Pada penggunaan diksi/pilihan kata jumlah siswa yang mampu adalah 20 (77%) sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menggunakan diksi/pilihan kata tergolong mampu/mencapai target >65%.
Saran
Dari kesimpulan diatas diketahui bahwa kemampuan siswa dalam menulis cerpen masih perlu diperbaiki dan harus ditingkatkan agar jumlah siswa yang mampu menulis cerpen dapat bertambah.
Untuk memperbaiki kemampuan siswa perlu dilakukan beberapa hal berikut ini:
siswa yang tidak mampu mendapat penanganan khusus dari guru dengan memberikan penanganan yang khusus serta latihan-latihan menulis cerpen lebih sering.
membudayakan kebiasaan membaca dengan melalui perpustakaan sekolah dengan memanfaatkan waktu yang kosong pada jam pelajaran sekolah untuk perkembangan imajinasi siswa.
untuk menunjang keberhasilan tersebut perlu disediakan buku-buku pembelajaran cerpen, buku-buku kumpulan cerpen dan sebagainya.




DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo.

.2007. Pandai Memahami Dan Menulis Cerita Pendek. Bandung: P.T.Pribumi Mekar.

Debdikbud.2002. Sistim Penilaian. Jakarta : Pusat Penilaian Pendidikan (Depdikbud).

1994. Kurikulum Sekolah Dasar Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Eneste, Pasumuk. 1990. Leksikon Kesusastraan Modern. Jakarta: Djambatan.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu Di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Jassin, H.B. 1994. Koran dan Sastra Koran Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, Edisi Ke-4. Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama.

Karsana, Ano. 1986. Keterampilan Menulis, Karunia. Jakarta: UT.Jakarta

Keraf, Gorys. 1988. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia

___.1980. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah

Kosasih, E. 2004. Komposisi Ketatabahasaan Dan Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.

Miriam, Caryn. 2003. Daripada BĂȘte, Nulis Aja! Bandung: Kaifa.

Muchlisah. 1993. Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Parera, Jos. Daniel. 1987. Belajar Mengemukakan Pendapat. Edisi Ke-4. Jakarta:Erlangga.

____. 1993. Menulis Tertib Dan Sistematik. Jakarta: Erlangga.

_____ .1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rosidi, Ajip. 2000. Ikthtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra A. Bardin.

Sampurno, S. Chamdiah. 1987. Pengembangan Program Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: IKIP Muhammadiah.

Soedjipto, dan Hasan, Mansur. 1991. Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Subyekto, Nababan dan Sri Utari.1994. Metode Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Sumarjo, Jakob. 2004. Seluk-Beluk Dan Petunjuk Menulis Cerita Pendek. Bandung: Pustaka Latifah.

Sumarjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suminto, A. Sayuti. 2000. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gramedia.

Tanjung, Bahdin Nur. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis, Dan Disertasi). Jakarta: Kencana.

Tarigan, D.J.1981. Membina Keterampilan Menulis Paragraf Dan Pengembangannya. Bandung : Angkasa.

Tarigan, D.J. dan Tarigan H.G. 1991. Teknik Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Hendry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
_____________________.1990. Teknik Pengajaran Berbahasa. Bandung:Angkasa.

Mengelola Informasi dalam Ceramah

 BAB III 1. Mengelola Informasi dalam Ceramah          Pernahkan kamu mendengar ceramah?          Apakah kamu suka ketika mendengar ceramah?...