Minggu, 22 September 2019

KD.3.6 Menganalisis struktur dan kebahasaan teks editorial


KD.3.6  Menganalisis struktur dan kebahasaan teks editorial
IPK.     3.6.1 Menemukan struktur dalam teks editorial
             3.6.2 Menentukan teks kebahasaan dalam teks editorial
             3.6.3 Menyusun argumen atau pendapat terhadap isu aktual

1. Menemukan struktur dalam teks editorial

    Editorial termasuk ke dalam jenis teks eksposisi, seperti halnya ulasan dan teks teks sejenis diskusi. Dengan demikian struktur teks editorial meliputi  Pengenalan isu (tesis), argumen, dan penegasan.

1.       Pengenalan isu
     Pengenalan isu merupakan bagian pendahuluan teks editorial. Fungsinya adalah mengenalkan isu atau permasalahan yang akan dibahas bagian berikutnya. Pada bagian pengenalan isu disajikan peristiwa persoalan aktual, fenomenal, dan kontroversial.

2.       Penyampaian pendapat/ argumen
     Bagian ini merupakan bagian pembahasan yang berisi tanggapan redaksi terhadap isu yang sudah diperkenalkan sebelumnya.

3.       Penegasan
    Penegasan dalam teks editorial berupa simpulan, saran atau rekomendasi. Di dalamnya juga terselip harapan redaksi kepada para pihak terkait dalam menghadapi atau mengatasi persoalan yang terjadi dalam isu tersebut.

Berikut contoh teks editorial:

Pengenalan isu
   Zaman sekarang banyak hal memalukan yang terjadi di negara ini seperti korupsi, suap, dan sebagainya. Anehnya, pelaku kejahatan tersebut adalah orang pintar yang namanya berekor gelar dari universitas terkenal. {Memandang fenomena yang terjadi, agaknya ada yang salah dengan pola pendidikan formal di sini dan harusnya sudah ada kajian ulang.} Pola pendidikan terlalu menekankan pada ilmu duniawi semata. Yang menghasilkan orang pintar, namun tidak terdidik ataupun memiliki budi pekerti baik.

Argumen 1: Pendapat
   Akibatnya orang pintar justru menjadi jahat, bersikap seperti maling, menindas kaum lemah. Padahal harusnya merekalah yang menjadi penolong dan pemimpin yang dapat memberikan manfaat bagi umat.

Argumen 2: Fakta
   Banyak orang terhormat di negara ini yang tertangkap basah melakukan tindak korupsi ataupun penyuapan. Bahkan mereka yang bergelar pendidikan tinggi dan mengaku sebagai alim ulama, tetapi bertindak memalukan dan merugikan sesama.

Argumen 3: Fakta
   Bahkan banyak yang melakukan kejahatan ini secara berjamaah, bersama dengan teman sejawat yang katanya juga terhormat. Mirisnya, kala ditangkap oleh pihak berwajib, tetap saja memasang wajah tanpa dosa dan sanggup menebar senyum. Seolah tak miliki rasa bersalah dan justru senang dengan apa yang telah diperbuat.

Argumen 4: Sindiran
   Apa mereka tidak tahu dan tak ada yang pernah mengajari bahwa memakan uang yang bukan haknya adalah perbuatan dosa dan haram hukumnya?

Kesimpulan
   Memang mereka sudah kehilangan akal dan tak lagi memiliki urat malu. Karenanya sangat perlu untuk memperbaiki sistem pendidikan formal yang tak hanya mementingkan hasil. Melainkan juga proses agar dapat mencetak generasi yang cerdas dan berakhlak baik.


2. Menentukan teks kebahasaan dalam teks editorial

    Kaidah kebahasaan teks editorial tergolong ke dalam kaidah kebahasaan yang berciri bahasa jurnalistik. Berikut ini ciri-ciri dari bahasa jurnalistik teks editorial.

1.       Penggunaan kalimat retoris.
Kalimat retoris adalah kalimat pertanyaan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan agar pembaca merenungkan masalah yang dipertanyakan tersebut sehingga tergugah untuk berbuat sesuatu, atau minimal berubah pandangannya terhadap isu yang dibahas.

Contoh: Benarkah pemerintah tidak tahu atau tidak diberitahu mengenai rencana Pertamina menaikkan harga elpiji?

2.       Menggunakan kata-kata populer sehingga mudah bagi khalayak untuk mencernanya
            Tujuannya agar pembaca tetap merasa rilek meskipun membaca masalah serius dipenuhi tanggapan yang kritis. Contoh kata-kata populer adalah terkaget-kaget, pencitraan, dan menengarai.
3.        
      Menggunakan kata ganti petunjuk yang merujuk pada waktu, tempat, peristiwa, atau hal lainnya yang menjadi fokus ulasan.

Contoh:
a.       Sungguh, kenaikan kenaikan harga itu merupakan kado yang tidak simpatik, tidak bijak, dan tidak logis.
b.      Berdasar simpulan rapat itulah, Presiden kemudian membuat keputusan harga elpiji 12 kg yang diumumkan pada hari minggu kemarin.
c.     Rasanya mustahil kalau pemerintah, dalam hal ini Menko Ekuin dan Menteri BUMN tidak tahu serta tidak dimintai pandangan, pendapat, dan pertimbangannya.
4.       
           Banyaknya penggunaan konjungsi kausalitas, seperti sebab, karena, oleh sebab itu. 
             Hal ini terkait dengan penggunaan sejumlah argumen yang dikemukakan redaktur berkenaan dengan masalah yang dikupasnya.
a.       Masyarakat sebagai konsumen menjadi terkaget-kaget karena kenaikan tanpa didahului sosialisasi.
b.      Malah boleh jadi ada politisi yang mengategorikannya sebagai reaksi yang cenderung bersifat pencitraan sehingga terbangun kesan bahwa pemerintah memerhatikan kesulitan nsekaligus melindungi kebutuhan rakyat.

 @Bahasa Indonesia kelas XII, kemendikbud RI 2018

Sabtu, 07 September 2019

Cerpen "Pesan Sesaat di Pagi Hari"


PESAN SESAAT DI PAGI HARI

karya: Toyib Hidayat

  

   Pagi itu, ku terbangun dari gemerlap mimpiku dengan sisa-sisa yang membekas disenyumku. Ditemani mata yang sayu, ku membasuh bekas itu hingga terus memudar dan hilang sepenuhnya. Aku berjalan melintasi detik, menit, hingga jam. Bersama pula mimpi itu meninggalkan tempat asalnya. Namun ketika bintang kembali gemerlap dengan cahaya yang menari-nari di balik tirai kelabu bersamanya kembali datang mimpi itu. Mimpi yang sama dengan kemarin, dengan kejadian serupa didalamnya. Mimpi yang menguasai seluruh ragaku disaat aku tak sadar dalam pejaman mataku. Mimpi yang selalu menitipkan pesan sebuah senyuman di akhir kedatangannya. Meski titipan itu selalu kuhapusnya dengan basuhan air nan sejuk di pagi hari bagaikan hembusan angin yang meraba kulit di pinggir pantai pada malam hari dan bersamanya mimpi yang selalu menitipkan pesan itu hanyut mengalir bersama titipan senyum yang memudar. Hingga akhirnya aku di buat terperanga dengan mimpi yang datang untuk ketiga kalinya dan bersamanya menggandeng akhir dari kisah yang ia ceritakan kepadaku selama ini. di saat ku terpejam  dengan iringan bunga tidur yang di bawakan mimpi itu khusus untukku dengan tegas dan berulang darinya ia ceritakan sebuah pertemuanku dengan sesosok mentari pagi yang nantinya akan memberikan kehangatan di setiap hari-hariku. Sembari diceritakannya kisah itu kepadaku, akupun berusaha bangkit dari lelapnya tidurku dengan rasa ingin dan penasaranku tuk membuktikan dongeng yang diceritakan mimpi itu kepadaku.
   "oh,,  kenapa sangat sulit. Kenapa aku tidak bisa bangun". Ucapku dalam hati, tubuhku serasa terikat dipaksa ku mendengar kisahnya yang terpaku akan menimpa diriku. "oh mimpi,,  haruskah ku mendengar kisahmu hingga selesai sedang ku sangat ingin terbangun dan membuktikan ceritamu??". Tanyaku kembali pada mimpi itu yang masih tengah bercerita kepadaku. Hingga akhir dari ceritanya mimpi itu membolehkan aku terbangun dengan tak lupa ia kembali menitipkan senyuman yang sama seperti biasa di bibirku. Tarbangunlah tubuhku dari ikatan tali yang membelenggu raga ini Seraya dalam hatiku mengucap "bunga tidur yang sangat indah,,  kali ini aku tidak akan menghapusnya". Dengan penasaran menggebu kubiarkan mimpi itu tetap bersemayam di pikiranku dan tidak kan ku usir lagi dari tempat asalnya hingga ku mendapatkan pembuktian dari kisah yang diceritakan mimpi itu kepadaku. Yang membuatku berdebat dalam imajinasiku sendiri, bertanya-tanya tanpa jawaban menambah kuat rasa penasaranku akan setiap pertanyaan yang semakin banyak bermunculan dalam bola berisi otak jenuh ini. Dengan genggaman harapan yang mencengkram begitu kuatnya ku takkan menghapus pesan terakhir mimpi itu, berulang kalinya aku mengukuhkan bahwa semua akan ada jawaban. Tiba saatnya Ku bertanya pada bintang yang mengantar mimpi itu kepadaku, namun jawabannya nihil. Bintang yang begitu dekat dengan mimpiku pun tak tahu apa maksud dari mimpi itu menceritakan semua tentang ini kepadaku.
   Dan pada puncak usangnya harapanku akan semua jawaban yang ku pastikan datang. Sampai lah sebuah pesan singkat yang dikirimnya dalam sebuah kaca elektronik kunamainya. Bersamanya mentari pagi yang dikirimkannya kepadaku. Sebuah pesan yang tak ku duga dan tak kusangka menjawab semua pertanyaan yang telah lama bersemayam dalam kepalaku ini meski dengan kutipan jawaban semu. "apakah mimpi itu telah menepati janjinya?, apakah semua ini akan nyata?". tanyaku perlahan dalam benak. Meski pesan itu telah ku baca berulang kali, namun masih semu saja bagiku. Niatku untuk memperjelas jawaban itu dengan membalas pesan di pagi hari itu sambil ku bertanya pada mentari pagi yang mengiringnya "apakah dia akan membalas pesanku hai mentari pagi?". Ku mulai bertanya pada mentari namun jawabannya kembali nihil, sang mentari yang bersama pesan itu datang kepadaku juga tidak tahu. "sebegitu misteriusnya dia!. Sampai kau pun tidak tahu apakah dia akan membalas atau tidak. Sedang kamu adalah pengiring pesannya kepadaku". Kembali ku bercakap pada mentari pagi itu. Namun, Mulai ku merasa aneh akan perkacapan ini, aku merasa bahwa aku ini gila,  aku berbicara pada mentari pagi sedang ia tidak mampu berbicara,  aku bertanya dengan bintang sedang ia tidak akan bisa menjawab pertanyaanku. "ah..  Tapi ini semua asik-asik saja. Meski seperti orang gila" tanggapku dalam hati dengan sedikit rasa malu. Tak berselang lama sebaris karangan pesan menghampiri retina mataku. Terpampang jelas di permukaan kaca elektronikku berpapasan langsung ke bola mataku. Sedikit ku tak percaya olehnya. Dia yang kukira sebagai sosok yang sangat misterius tanpa enggan menerima pesanku dan langsung membalasnya. "wah. Kali ini jawaban pesannya cukup jelas, siapa gerangan dia? Ternyata semua yang diceritakan mimpi itu benar adanya". 
      Anggapan tegasku kembali meluap. Ku mulai membaca secarik pesan itu secara perlahan sembari ku mendalami maksudnya. Dan ternyata dia yang benar-benar ku anggap sebagai sosok yang misterius tak lain adalah sosok yang ceria dan bersahaja. Hingga Anggapan awalku tentangnya mulai ku tepis jauh-jauh sejalan ku mulai mengenalnya lebih dekat lagi melalui secarik pesan yang saling berbalas di setiap pagiku. Ku mulai dekat dengannya dengan ikatan tali pesan yang semakin kuat di setiap pagiku. Tak lupa dengan mimpiku, aku menaruh pesan terima kasih kepadanya karena telah menceritakan kisah ini dalam pejaman mataku dan mewujudkannya dalam kenyataan hari-hariku.
   Namun rasa penasaranku akan tentangnya belum terbayar lunas. Masih terasa mengganjal dalam benak pertanyaan-pertanyaan akan keberadaannya sebagai sesosok wanita yang suka membuat kebun bunga dalam hatiku. Aku penasaran bagaimanakah kenampakan dari wajahnya yang oleh mimpi itu bercerita bahwa dia suka dengan mentari pagi dan menatap dengan kelentikan matanya yang begitu indah. Aku semakin penarasan dan semakin penasaran. Inginku melepas bebas penasaranku ini dengan sebuah pertemuan meski singkat sekalipun. Kerasnya harapanku ini membuatku nekat melakukan berbagai macam cara agar dapat berjumpa dengan dia yang masih terasa asing bagiku. Imajinasiku semakin bermain dengan jarak tanpa pertemuan ini. Kini aku mulai mengada-ngada perihal tentang wajahnya, tentang kelentikan matanya, sebagaimana diceritakan mimpi itu kepadaku. Tak luput juga dengan penasaranku ini ku barengi dengan bait-bait doa dan harapanku untuk bertemu dengannya. 
     Hingga pada hari itu, senin orang-orang menamainya. Aku berjalan menuju tempat dimana ilmu terkumpul di tempat itu.  hendak ku mendaftar untuk menjadi bagian dari orang-orang yang sebelumnya sudah ada dan marauk hampir sebagian ilmu-ilmu di tempat itu. Dan Di awal tibanya ku di tempat itu, dengan sorot mentari pagi yang sedikit sayu akibat awan putih bagai bola-bola kapas menutupi sebagian wajah mentari tak luput dengan butir-butir embun yang mulai memudar, di tempat itu. Ya, tepatnya diteras itu. Sesosok wanita tengah memandang mentari dengan wajah murung. Inginku tegur dia dengan sapaan selamat pagi,  namun ku urungkan niatku itu. "ah, fokus mendaftar saja", ucapku dengan suara lirih sambil meninggalkan wanita itu menuju ruang utama pendaftaran. Sesaat sebelum namaku disebut sebagai salah satu calon anggota baru di tempat itu. Dalam antrianku terbesit kembali sebuah pertanyaan dalam benak, siapakah sosok perempuan di teras tadi. Namun aku tidak ingin memusingkan perihal pertanyaan-pertanyaan itu. Usahaku memalingkan pikiran dari pertanyaan itu gagal, "ah. 
     Kubiarkan saja dia di pikiranku, malas aku urus. Mending ku pikir soal pendaftaranku", kembali ku berucap spontan seperti orang gila. Hingga akhirnya aku di terima menjadi salah satu member dalam tempat itu, atau orang sering menyebutnya gudang ilmu. Dengan pertanyaan yang selalu menempel di kepalaku, ku kembali berjalan pulang. Tiba ku di rumah dan tanpa pertimbangan ku kembali memikirkan perihal Pertanyaanku tadi, hingga membuat pertanyaan-pertanyaan lain ikut bermunculan. "apakah sosok wanita tadi adalah orang yang sama dengan wanita pembuat kebun bunga dalam hatiku melalui bait demi bait pesannya. 
      Dan apakah dia sosok wanita yang suka memandang mentari pagi persis seperti yang di ceritakan mimpi itu padaku", kembali ku mulai berimajinasi. membuatku spontan bergegas membuka kotak pesan dalam kaca elektronik milikku. Entah apa yang membuatku secara spontan mengambilnya. Tetapi saat itu pula jari-jari tanganku secara refleks bekerja sama dengan dengan otakku. Tanpa seizin benakku, jari-jariku mengetik secarik pesan singkat berisi sebuah pertanyaan yang langsung dikirimkannya kepada sosok wanita yang suka dengan mentari pagi itu. Mulai hatiku berdebar keras, "kenapa sih aku harus tanya seperti itu kedia, kenapa coba tidak ku pikir secara matang dulu", ucapku dengan sedikit rasa kecewa dikarenakan ulah jari-jariku. Namun ternyata dari pertanyaan yang secara spontan kukirim tadi, menimbulkan sebuah percakapan singkat dalam kotak pesanku.
       Tanyaku melalui pesan kepadanya, "aku melihat sesosok wanita tengah memandang mentari pagi di teras dimana tempat orang menggali ilmu itu. Wanita itu tengah murung dengan sedikit embun di kedua kelopak matanya. Dia suka mentari, sama sepertimu. Apakah sosok wanita itu adalah kamu.?
Dengan respon yang cepat, tak berselang lama dia yang kini kupanggil dengan sebutan mentari menjawab pesan pertanyaanku. "benar, yang kamu anggap itu adalah aku memang benar itu aku, aku bersedih karena pagi itu mentari tidak senyum kepadaku melalui panacaran sinarnya, ingin aku menyalahkan awan tapi aku tidak punya bukti kalau awan lah penyebab dari semua itu."
      Dengan sedikit terheran dan tak percaya perihal yang barusan terjadi, serta penyesalan dangkal dalam benak, "kenapa aku tidak menyapanya saja tadi pagi, toh aku sangat ingin berjumpa dengannya" ungkap kalimat penyesalanku. Dengan parasaan yang sama, aku turut sedih atas apa yang dia alami setelah dia ceritakan semuanya kepadaku. Dengan percaya diriku yang kubalut dengan selongsong baja agar tidak mudah layu, ku membuat sebuah perencanaan dengannya untuk bertemu. Dengan dalih aku bisa saja membatu apa yang menjadi beban pikirannya saat ini, agar dia mau bertemu denganku. Sebuah rencana yang kususun rapi dimana untuk pertama kalinya aku melakukan pertemuan semacam ini.
   Tepat pada hari berikutnya, aku bangun lebih awal mempersiapkan segalanya yang mungkin kubutuhkan, berjalanlah aku ke tempat itu dengan percaya diriku yang masih kubungkus rapi dan berharap pagi itu awan tidak kembali berulah dengan menutupi sang mentari hingga setibanya ku di tempat kemarin, tempat ku gali ilmu untuk masa depanku. Tepat berhadapan denganku sesosok wanita yang mana kata-kataku untuk mengungkapkan perihalnya pun tak mampu. Dengan kelentikan dan sorotan matanya seketika langsung membisukanku. Dengan pikiran yang kosong, detak jantungku semakin keras dan cepat hingga terasa di bagian telapak kakiku. Kemudian ia tersenyum ke arahku seraya menghampiriku. 
      Dalam benak ku mengucap "subhanallah, inikah dia... " sambil menggelengkan kepala. "mentari tengah bersinar terang. Pantas saja dia tersenyum, tidak murung seperti kemarin". Kembali ku mengucap dengan suara lirih bersama pula dia berjalan semakin dekat ke arahku. Berdirilah dia tepat di depanku sambil menyapa dengan lembutnya, suaranya berayun lembut bagai permen kapas yang manis, terdengar kalimat "selamat pagi". Dengan suara bergetar dan kuyup keringat di tubuhku menyahutlah aku perlahan "pagi juga". Dag-dig-dug...  Terus jantungku bagai memainkan nada lagu my heart will go on. Tempo nadanya semakin cepat, jantungku memainkan melodinya setelah ia kembali bertanya kepadaku "gimana kabarnya kak". Semakin lemas kakiku hampir tak mampu menopang berat tubuhku, rasanya mau pingsan. Aku pun menjawab dengan penegasan bahwa aku ini baik-baik saja, bahkan lebih dari kata baik. Sepuluh menit berselang ku bertukar pikiran dengannya hingga hampir lupa perihal namanya. Secepatnya langsung ku bertanya perihal namanya. Namun setelah ku melantangkan pertanyaanku itu, sekejap ia terdiam sejuta bahasa, dan membuatku bingung. Menjawablah dia dengan jawaban yang menurutku bad answer. 
       Dengan lirih bak nada orang yang merasa bersalah, ia menjawab "perihal nama, mungkin kamu akan tau sendiri", dilanjutkan dengan senyum manis di bibirnya plus ciri khas matanya yang bulat sayu menatapku. Akupun menjadi ragu untuk kembali bertanya yang kedua kalinya. "kalau begitu aku kasih nama kamu mentari saja, kan kamu suka dengan mentari pagi, dan untuk nama panggilanmu adalah tari, gimana?". Tanyaku padanya. Ia tidak menjawab, namun mengangguk yang mengisyaratkan bahwa dia setuju dengan panggilan itu. Satu minggu berjalan, akupun semakin dekat dengannya melalui tiap-tiap pertemuanku. 
    Di tempat itu, mulai banyak ukiran-ukiran ceritaku dengannya. Membuat otot-otot wajah memaksaku untuk selalu tersenyum setiap kali aku mengingat tiap bagian dari ukiran cerita tentang aku dan dia. Dua minggu berjalan, kedekatanku dengannya semakin terasa jelas. Entah hanya aku yang merasakannya atau mungkin dia juga. Aku yang sebelumnya tidak mengenal kata cinta, sebaliknya kini cinta itu mulai mendobrak gerbang hatiku yang sebelumnya telah kututup rapat, meronta-ronta cinta itu terasa ingin menguasai seluruh isi hatiku. Memaksaku untuk mengungkapkan rasa itu. Rasa yang entah seperti apa rasanya, rasa yang tidak dapat ku cap langsung dengan lidah, rasa yang tak dapat ku raba keberadaannya dengan kulit, melainkan rasa yang mampu merangsang tubuhku hingga bergetar penuh keringat, layaknya seekor cacing yang terkena air garam, gelisah dan gundah menyelimuti tubuhku. Aku mengerti maksud hati ini, meski ia tidak dapat berbicara layaknya aku, namun sinyal-sinyal itu selalu terasa di hatiku. Hingga akhirnya, aku pun tak kuasa menahan rasa itu, memaksaku untuk langsung mengucapkannya. Dan tepat hari itu, hari di mana aku dan tari beristirahat untuk tidak menuntut ilmu. Aku kirimkan secarik pesan spesial untuknya, pesan yang mana isinya belum pernah kubuat seumur hidupku. 
    Harapanku, tari dapat merespon pesan itu sesuai dengan imajinasi yang sudah kurangkai sebelumnya. Niatku ingin memberi separuh kebun bunga dalam hatiku yang telah ia rawat dengan sepenuh hatinya. Dengan maksud agar ia juga dapat menikmati indahnya kebun bunga itu sambil menatap indahnya binar-binar cahaya mentari. Imajinasiku yang mulai meluas seketika terputus akibat bunyi keras dari bell notifikasi pesanku. Bell yang menandakan sebuah pesan masuk di kotak pesanku. Dengan sigap dan tanpa pikir panjang aku langsung membukanya, ternyata itu adalah respon pesanku dari tari. Dengan semangat aku langsung membacanya. Secarik pesan itu mengisyaratkan bahwa tari telah menerimaku sebagai pendamping barunya, serta di akhir pesan itu, ia menyisipkan sebuah gambar wajah dengan pipi memerah yang tersipu malu. Menandakan bahwa dia mengiyakan permintaanku dengan sedikit rasa malu. Setelah ku baca pesan itu, entah bagaimana aku dapat meluapkan kegembiraan ini. Hingga aku lupa terhadap semua tugas-tugasku yang telah menumpuk, lupa terhadap hutang-hutang temanku kepadaku yang hampir membuatku gila bagaimana cara menagihnya. Seketika seluruh bunga dalam kebun bunga di hatiku bermekaran. Detak jantungku kembali meningkat melampaui batas normal. Sempat terbesit dalam pikiranku untuk berterimakasih terhadap cinta itu yang memaksaku untuk segera mengungkapkan rasa ini. "untung langsung aku ungkapkan perasaan ini dan tidak ku pendam-pendam". Ucapku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
   Mulai hari itu, setiap pagiku selalu ku awali dengan semangat, bahkan walau hanya sarapan dengan secarik pesan dari tari yang sudah menunggu dan siap ku baca dalam kotak pesanku. Membuatku bersemangat serta rajin untuk pergi menggali ilmu setiap hari bersamanya, hari libur pun ingin rasanya aku hilangkan. Sehari tak bertemu dengannya,  serasa aku mengunyah satu liter cabai tanpa air minum setetes pun.
   Dua bulan berjalan, aku selalu berdampingan dengan tari. Ya tari, dialah kekasih pertama dan terbaik bagiku. Tak ada sesosok wanita manapun yang mampu menggantikan posisinya saat ini. Perhatiannya selalu ada untukku dan tak luput baginya, bagai jumlah titik air hujan yang jatuh kebumi, hingga akupun tak sanggup untuk menghitung jumlahnya. Membuat Rajutan benang-benang cinta ini semakin kuat.
   Kini masuk bulan ke empat, aku masih bersamanya dengan perasaan yang sama, tak berubah setitik pun. Bulan ini masuk musim hujan, pasukan awan-awan kelabu berdatangan sepanjang hari,  siap menutupi tiap-tiap helai cahaya mentari yang berusaha menerobosnya. Udara mendung mulai terasa. Begitu pula dengan keanehan perasaanku terhadap tari.  Keanehan ini muncul bukan tanpa sebab, dia yang awalnya selalu menghiburku, kini dia yang haus akan hiburan. Setiap aku berusaha menghiburnya, dia selalu saja memasang muka cemberut dengan tatapan kosong yang mengarah padaku. Dulu pesan yang ia kirimkan kepadaku bagai sebuah puisi yang tiap kali aku membacanya, bunga dalam hatiku selalu kembali bermekaran. 
      Namun kini, pesan-pesannya bak cerita horor yang akupun takut untuk membacanya. Dulu yang tiap pesannya aku selalu kewalahan untuk membaca per tiap katanya. Kini, walau seratus kali ku ulang tuk membacanya pun aku masih sanggup. Kini hatiku mulai meneteskan air matanya, meski tak terdengar suara tangisannya. Membuat 1001 pertanyaan kembali datang menghampiriku dan bersarang dalam otakku. "apakah dalam hatinya sudah tidak ada perasaan cinta untukku lagi". Ucapku dalam hati dengan pikiran kacau entah kemana. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu langsung ku tepis jauh-jauh sembari ku menghindarinya. "mungkin dia begitu karena lagi badmood, soalnya mentari pagi nggak muncul-muncul karena terhalang awan mendung, dan dia paling nggak suka kalau mentari tidak muncul. Akibatnya berimbas kepadaku, dia mulai cuek denganku. 
      Mungkin benar karena itu ya?". Ucapku tegas dalam hati untuk menepis semua pertanyaan yang bersarang di pikiranku. Musim hujan semakin menjadi-jadi, awan gelap terus berdatangan dan hujan turun di mana-mana. Sepanjang hari mentari tak memancarkan sinarnya walau hanya satu menit. Hubunganku dengan tari pun kini rentan patah, aku berusaha tetap merawatnya, berharap retakan-retakan ini dapat pulih kembali. Namun tari semakin cuek. Dia tidak peduli akan keberadaanku meski perhatian dariku terus mengguyurnya. "ada apa ini sebenarnya, apakah karena musim hujan dan mentari pagi tak kunjung menampakkan dirinya". Ucapku dengan perasaan risau. Kini untuk bertemu sesaat saja pun enggan baginya untuk melakukan. Setiap aku bertemu dengannya, dia selalu berusaha memalingkan wajahnya. "ada apa sebenarnya ini tari, coba jelaskan baik-baik kepadaku". Tanyaku kepadanya namun tidak di gubris. Musim hujan semakin lebat. Pesan-pesan yang kukirim kepadanya pun tak kunjung ada balasan. Hatiku meringik, menangis tersedu-sedu, sangat sulit untuk di tenangkan. Di malam hari aku menggigil kedinginan, sama halnya di siang hari, angin kencang itu menusuk tulangku menembus jaket tebalku bagai pisau yang begitu tajam.  Karena pesan-pesan dan perhatian yang mampu memberi kehangatan hilang entah kemana. Hari itu aku bertemu langsung dengan tari, namun masih sama seperti biasa, dia begitu cuek, raut masam belum terlepas dari wajahnya. Ia berjalan ke arahku. Semakin dekat denganku nampak jelas terlihat matanya yang berkaca-kaca dengan bekas tetesan air di pipinya. Ku melihat bunga mawar penuh duri tengah ia genggam erat. Langsung di todongkannya bunga itu kepadaku, sambil ku lihat begitu banyak goresan dan bercak tinta merah di tangannya akibat duri mawar itu. Dengan cepat aku langsung menerima bunga mawar itu, tak peduli seberapa dalam duri bunga mawar itu akan menusukku. "inilah bukti cintaku tari, kesusahanmu adalah kesusahanku juga". Aku mengatakan itu pada tari, meski dia tak menggubrisku dan langsung pergi dengan goresan dan tinta merah yang masih melekat di tangannya. Hujan turun saat itu juga, membasahi pipiku, tak sanggup ku membendungnya. Bunga-bunga dalam hatiku layu seketika, hatiku menjerit kesakitan, mendadak seluruh tubuhku terasa dingin serta wajahku ikut pucat melihat tari pergi begitu saja tanpa pesan ucapan yang keluar langsung dari mulutnya. Ia pergi entah kemana, awan itu menariknya pergi.
   Lambat laun hari-hariku pudar, tak semangat melakukan apapun. Aku masih menatap kotak pesanku berharap ada balasan darinya. Meski tak kunjung ada kabar darinya, aku tetap menata rapi cinta dan harapan ini. Kususun di lemari jati agar tidak di makan rayap dan tak cepat rusak. Dia pergi..  Ya,,  dia pergi..  Sungai kecil melintasi kedua belah pipiku. Tak ada obat bagiku saat ini kecuali kamu seorang tari. Ingin rasanya aku menancapkan seluruh duri bunga mawar yang kau berikan ke tubuhku tepat di jantungku berharap langsung berhenti.
   Kini kau pergi entah kemana. Pergi tanpa alasan yang jelas. Mungkin Kau telah menemukan sebuah tempat, yang mana di tempat itu mentari lebih indah dan mampu membuatmu tersenyum setiap harinya. Dulu tari sangat membenci awan yang selalu menutupi mentari pagi, kini aku yang sangat membenci awan karena telah membuat tari pergi.
Tari..  Ternyata kau hanya sesosok bidadari yang singgah di duniaku untuk sementara saja, memberi kehangatan untukku. Yang sebelum kedatanganmu, kau menyuruh mimpi itu agar menyampaikan pesan perihal sebuah pertemuan ini. Dan semua itu hanyalah pesan sesaat di pagi hari. Tapi tenang tari, kau jangan risau. Cinta ini bagai bola permata yang akan ku jaga selalu. Serta harapan dan cerita kita semua tersusun rapi dalam lemari khususku. Agar ketika kau kembali, kita hanya perlu membersihkannya saja dari debu-debu yang melekat. Aku berharap kau kembali setelah musim hujan pergi, setalah awan-awan kelabu ini bermigrasi. Kau menetap dan selamanya di sini. Aku di sini tari. Di teras tempat awal kita bertemu.
Aku menunggumu,  aku menantimu, harapanku ada padamu.










   See you next soon. I am waiting for you***

Mengelola Informasi dalam Ceramah

 BAB III 1. Mengelola Informasi dalam Ceramah          Pernahkan kamu mendengar ceramah?          Apakah kamu suka ketika mendengar ceramah?...