PESAN SESAAT DI PAGI HARI
karya: Toyib Hidayat
Pagi itu, ku terbangun
dari gemerlap mimpiku dengan sisa-sisa yang membekas disenyumku. Ditemani mata
yang sayu, ku membasuh bekas itu hingga terus memudar dan hilang sepenuhnya.
Aku berjalan melintasi detik, menit, hingga jam. Bersama pula mimpi itu
meninggalkan tempat asalnya. Namun ketika bintang kembali gemerlap dengan cahaya
yang menari-nari di balik tirai kelabu bersamanya kembali datang mimpi itu.
Mimpi yang sama dengan kemarin, dengan kejadian serupa didalamnya. Mimpi yang
menguasai seluruh ragaku disaat aku tak sadar dalam pejaman mataku. Mimpi yang
selalu menitipkan pesan sebuah senyuman di akhir kedatangannya. Meski titipan
itu selalu kuhapusnya dengan basuhan air nan sejuk di pagi hari bagaikan hembusan
angin yang meraba kulit di pinggir pantai pada malam hari dan bersamanya mimpi
yang selalu menitipkan pesan itu hanyut mengalir bersama titipan senyum yang
memudar. Hingga akhirnya aku di buat terperanga dengan mimpi yang datang untuk
ketiga kalinya dan bersamanya menggandeng akhir dari kisah yang ia ceritakan
kepadaku selama ini. di saat ku terpejam dengan iringan bunga tidur yang di bawakan
mimpi itu khusus untukku dengan tegas dan berulang darinya ia ceritakan sebuah
pertemuanku dengan sesosok mentari pagi yang nantinya akan memberikan kehangatan
di setiap hari-hariku. Sembari diceritakannya kisah itu kepadaku, akupun berusaha
bangkit dari lelapnya tidurku dengan rasa ingin dan penasaranku tuk membuktikan
dongeng yang diceritakan mimpi itu kepadaku.
"oh,, kenapa sangat sulit. Kenapa aku tidak bisa
bangun". Ucapku dalam hati, tubuhku serasa terikat dipaksa ku mendengar kisahnya
yang terpaku akan menimpa diriku. "oh mimpi,, haruskah ku mendengar kisahmu hingga selesai
sedang ku sangat ingin terbangun dan membuktikan ceritamu??". Tanyaku
kembali pada mimpi itu yang masih tengah bercerita kepadaku. Hingga akhir dari ceritanya
mimpi itu membolehkan aku terbangun dengan tak lupa ia kembali menitipkan senyuman
yang sama seperti biasa di bibirku. Tarbangunlah tubuhku dari ikatan tali yang
membelenggu raga ini Seraya dalam hatiku mengucap "bunga tidur yang sangat
indah,, kali ini aku tidak akan
menghapusnya". Dengan penasaran menggebu kubiarkan mimpi itu tetap
bersemayam di pikiranku dan tidak kan ku usir lagi dari tempat asalnya hingga
ku mendapatkan pembuktian dari kisah yang diceritakan mimpi itu kepadaku. Yang membuatku
berdebat dalam imajinasiku sendiri, bertanya-tanya tanpa jawaban menambah kuat
rasa penasaranku akan setiap pertanyaan yang semakin banyak bermunculan dalam
bola berisi otak jenuh ini. Dengan genggaman harapan yang mencengkram begitu
kuatnya ku takkan menghapus pesan terakhir mimpi itu, berulang kalinya aku
mengukuhkan bahwa semua akan ada jawaban. Tiba saatnya Ku bertanya pada bintang
yang mengantar mimpi itu kepadaku, namun jawabannya nihil. Bintang yang begitu
dekat dengan mimpiku pun tak tahu apa maksud dari mimpi itu menceritakan semua
tentang ini kepadaku.
Dan pada puncak
usangnya harapanku akan semua jawaban yang ku pastikan datang. Sampai lah
sebuah pesan singkat yang dikirimnya dalam sebuah kaca elektronik kunamainya. Bersamanya
mentari pagi yang dikirimkannya kepadaku. Sebuah pesan yang tak ku duga dan tak
kusangka menjawab semua pertanyaan yang telah lama bersemayam dalam kepalaku
ini meski dengan kutipan jawaban semu. "apakah mimpi itu telah menepati
janjinya?, apakah semua ini akan nyata?". tanyaku perlahan dalam benak. Meski
pesan itu telah ku baca berulang kali, namun masih semu saja bagiku. Niatku
untuk memperjelas jawaban itu dengan membalas pesan di pagi hari itu sambil ku bertanya
pada mentari pagi yang mengiringnya "apakah dia akan membalas pesanku hai
mentari pagi?". Ku mulai bertanya pada mentari namun jawabannya kembali
nihil, sang mentari yang bersama pesan itu datang kepadaku juga tidak tahu. "sebegitu
misteriusnya dia!. Sampai kau pun tidak tahu apakah dia akan membalas atau tidak.
Sedang kamu adalah pengiring pesannya kepadaku". Kembali ku bercakap pada mentari
pagi itu. Namun, Mulai ku merasa aneh akan perkacapan ini, aku merasa bahwa aku
ini gila, aku berbicara pada mentari
pagi sedang ia tidak mampu berbicara,
aku bertanya dengan bintang sedang ia tidak akan bisa menjawab pertanyaanku.
"ah.. Tapi ini semua asik-asik saja.
Meski seperti orang gila" tanggapku dalam hati dengan sedikit rasa malu.
Tak berselang lama sebaris karangan pesan menghampiri retina mataku. Terpampang
jelas di permukaan kaca elektronikku berpapasan langsung ke bola mataku. Sedikit
ku tak percaya olehnya. Dia yang kukira sebagai sosok yang sangat misterius tanpa
enggan menerima pesanku dan langsung membalasnya. "wah. Kali ini jawaban pesannya
cukup jelas, siapa gerangan dia? Ternyata semua yang diceritakan mimpi itu
benar adanya".
Anggapan tegasku kembali meluap. Ku mulai membaca secarik pesan
itu secara perlahan sembari ku mendalami maksudnya. Dan ternyata dia yang benar-benar
ku anggap sebagai sosok yang misterius tak lain adalah sosok yang ceria dan
bersahaja. Hingga Anggapan awalku tentangnya mulai ku tepis jauh-jauh sejalan ku
mulai mengenalnya lebih dekat lagi melalui secarik pesan yang saling berbalas
di setiap pagiku. Ku mulai dekat dengannya dengan ikatan tali pesan yang
semakin kuat di setiap pagiku. Tak lupa dengan mimpiku, aku menaruh pesan terima
kasih kepadanya karena telah menceritakan kisah ini dalam pejaman mataku dan
mewujudkannya dalam kenyataan hari-hariku.
Namun rasa penasaranku
akan tentangnya belum terbayar lunas. Masih terasa mengganjal dalam benak pertanyaan-pertanyaan
akan keberadaannya sebagai sesosok wanita yang suka membuat kebun bunga dalam
hatiku. Aku penasaran bagaimanakah kenampakan dari wajahnya yang oleh mimpi itu
bercerita bahwa dia suka dengan mentari pagi dan menatap dengan kelentikan
matanya yang begitu indah. Aku semakin penarasan dan semakin penasaran. Inginku
melepas bebas penasaranku ini dengan sebuah pertemuan meski singkat sekalipun.
Kerasnya harapanku ini membuatku nekat melakukan berbagai macam cara agar dapat
berjumpa dengan dia yang masih terasa asing bagiku. Imajinasiku semakin bermain
dengan jarak tanpa pertemuan ini. Kini aku mulai mengada-ngada perihal tentang wajahnya,
tentang kelentikan matanya, sebagaimana diceritakan mimpi itu kepadaku. Tak
luput juga dengan penasaranku ini ku barengi dengan bait-bait doa dan harapanku
untuk bertemu dengannya.
Hingga pada hari itu, senin orang-orang menamainya.
Aku berjalan menuju tempat dimana ilmu terkumpul di tempat itu. hendak ku mendaftar untuk menjadi bagian dari
orang-orang yang sebelumnya sudah ada dan marauk hampir sebagian ilmu-ilmu di
tempat itu. Dan Di awal tibanya ku di tempat itu, dengan sorot mentari pagi
yang sedikit sayu akibat awan putih bagai bola-bola kapas menutupi sebagian
wajah mentari tak luput dengan butir-butir embun yang mulai memudar, di tempat itu.
Ya, tepatnya diteras itu. Sesosok wanita tengah memandang mentari dengan wajah
murung. Inginku tegur dia dengan sapaan selamat pagi, namun ku urungkan niatku itu. "ah, fokus
mendaftar saja", ucapku dengan suara lirih sambil meninggalkan wanita itu
menuju ruang utama pendaftaran. Sesaat sebelum namaku disebut sebagai salah satu
calon anggota baru di tempat itu. Dalam antrianku terbesit kembali sebuah
pertanyaan dalam benak, siapakah sosok perempuan di teras tadi. Namun aku tidak
ingin memusingkan perihal pertanyaan-pertanyaan itu. Usahaku memalingkan pikiran
dari pertanyaan itu gagal, "ah.
Kubiarkan saja dia di pikiranku, malas aku
urus. Mending ku pikir soal pendaftaranku", kembali ku berucap spontan seperti
orang gila. Hingga akhirnya aku di terima menjadi salah satu member dalam
tempat itu, atau orang sering menyebutnya gudang ilmu. Dengan pertanyaan yang selalu
menempel di kepalaku, ku kembali berjalan pulang. Tiba ku di rumah dan tanpa
pertimbangan ku kembali memikirkan perihal Pertanyaanku tadi, hingga membuat pertanyaan-pertanyaan
lain ikut bermunculan. "apakah sosok wanita tadi adalah orang yang sama
dengan wanita pembuat kebun bunga dalam hatiku melalui bait demi bait pesannya.
Dan apakah dia sosok wanita yang suka memandang mentari pagi persis seperti
yang di ceritakan mimpi itu padaku", kembali ku mulai berimajinasi. membuatku
spontan bergegas membuka kotak pesan dalam kaca elektronik milikku. Entah apa
yang membuatku secara spontan mengambilnya. Tetapi saat itu pula jari-jari
tanganku secara refleks bekerja sama dengan dengan otakku. Tanpa seizin benakku,
jari-jariku mengetik secarik pesan singkat berisi sebuah pertanyaan yang
langsung dikirimkannya kepada sosok wanita yang suka dengan mentari pagi itu. Mulai
hatiku berdebar keras, "kenapa sih aku harus tanya seperti itu kedia,
kenapa coba tidak ku pikir secara matang dulu", ucapku dengan sedikit rasa
kecewa dikarenakan ulah jari-jariku. Namun ternyata dari pertanyaan yang secara
spontan kukirim tadi, menimbulkan sebuah percakapan singkat dalam kotak pesanku.
Tanyaku melalui pesan kepadanya, "aku melihat sesosok
wanita tengah memandang mentari pagi di teras dimana tempat orang menggali ilmu
itu. Wanita itu tengah murung dengan sedikit embun di kedua kelopak matanya.
Dia suka mentari, sama sepertimu. Apakah sosok wanita itu adalah kamu.?
Dengan respon yang cepat, tak berselang lama dia yang kini
kupanggil dengan sebutan mentari menjawab pesan pertanyaanku. "benar, yang
kamu anggap itu adalah aku memang benar itu aku, aku bersedih karena pagi itu mentari
tidak senyum kepadaku melalui panacaran sinarnya, ingin aku menyalahkan awan
tapi aku tidak punya bukti kalau awan lah penyebab dari semua itu."
Dengan sedikit terheran dan tak percaya perihal yang barusan
terjadi, serta penyesalan dangkal dalam benak, "kenapa aku tidak menyapanya
saja tadi pagi, toh aku sangat ingin berjumpa dengannya" ungkap kalimat
penyesalanku. Dengan parasaan yang sama, aku turut sedih atas apa yang dia
alami setelah dia ceritakan semuanya kepadaku. Dengan percaya diriku yang
kubalut dengan selongsong baja agar tidak mudah layu, ku membuat sebuah perencanaan
dengannya untuk bertemu. Dengan dalih aku bisa saja membatu apa yang menjadi
beban pikirannya saat ini, agar dia mau bertemu denganku. Sebuah rencana yang
kususun rapi dimana untuk pertama kalinya aku melakukan pertemuan semacam ini.
Tepat pada hari berikutnya,
aku bangun lebih awal mempersiapkan segalanya yang mungkin kubutuhkan, berjalanlah
aku ke tempat itu dengan percaya diriku yang masih kubungkus rapi dan berharap
pagi itu awan tidak kembali berulah dengan menutupi sang mentari hingga setibanya
ku di tempat kemarin, tempat ku gali ilmu untuk masa depanku. Tepat berhadapan
denganku sesosok wanita yang mana kata-kataku untuk mengungkapkan perihalnya
pun tak mampu. Dengan kelentikan dan sorotan matanya seketika langsung membisukanku.
Dengan pikiran yang kosong, detak jantungku semakin keras dan cepat hingga
terasa di bagian telapak kakiku. Kemudian ia tersenyum ke arahku seraya menghampiriku.
Dalam benak ku mengucap "subhanallah, inikah dia... " sambil menggelengkan
kepala. "mentari tengah bersinar terang. Pantas saja dia tersenyum, tidak
murung seperti kemarin". Kembali ku mengucap dengan suara lirih bersama
pula dia berjalan semakin dekat ke arahku. Berdirilah dia tepat di depanku
sambil menyapa dengan lembutnya, suaranya berayun lembut bagai permen kapas
yang manis, terdengar kalimat "selamat pagi". Dengan suara bergetar
dan kuyup keringat di tubuhku menyahutlah aku perlahan "pagi juga".
Dag-dig-dug... Terus jantungku bagai memainkan
nada lagu my heart will go on. Tempo nadanya semakin cepat, jantungku memainkan
melodinya setelah ia kembali bertanya kepadaku "gimana kabarnya kak".
Semakin lemas kakiku hampir tak mampu menopang berat tubuhku, rasanya mau pingsan.
Aku pun menjawab dengan penegasan bahwa aku ini baik-baik saja, bahkan lebih
dari kata baik. Sepuluh menit berselang ku bertukar pikiran dengannya hingga
hampir lupa perihal namanya. Secepatnya langsung ku bertanya perihal namanya.
Namun setelah ku melantangkan pertanyaanku itu, sekejap ia terdiam sejuta bahasa,
dan membuatku bingung. Menjawablah dia dengan jawaban yang menurutku bad
answer.
Dengan lirih bak nada orang yang merasa bersalah, ia menjawab "perihal
nama, mungkin kamu akan tau sendiri", dilanjutkan dengan senyum manis di
bibirnya plus ciri khas matanya yang bulat sayu menatapku. Akupun menjadi ragu
untuk kembali bertanya yang kedua kalinya. "kalau begitu aku kasih nama
kamu mentari saja, kan kamu suka dengan mentari pagi, dan untuk nama panggilanmu
adalah tari, gimana?". Tanyaku padanya. Ia tidak menjawab, namun mengangguk
yang mengisyaratkan bahwa dia setuju dengan panggilan itu. Satu minggu berjalan,
akupun semakin dekat dengannya melalui tiap-tiap pertemuanku.
Di tempat itu, mulai
banyak ukiran-ukiran ceritaku dengannya. Membuat otot-otot wajah memaksaku
untuk selalu tersenyum setiap kali aku mengingat tiap bagian dari ukiran cerita
tentang aku dan dia. Dua minggu berjalan, kedekatanku dengannya semakin terasa
jelas. Entah hanya aku yang merasakannya atau mungkin dia juga. Aku yang
sebelumnya tidak mengenal kata cinta, sebaliknya kini cinta itu mulai mendobrak
gerbang hatiku yang sebelumnya telah kututup rapat, meronta-ronta cinta itu
terasa ingin menguasai seluruh isi hatiku. Memaksaku untuk mengungkapkan rasa
itu. Rasa yang entah seperti apa rasanya, rasa yang tidak dapat ku cap langsung
dengan lidah, rasa yang tak dapat ku raba keberadaannya dengan kulit, melainkan
rasa yang mampu merangsang tubuhku hingga bergetar penuh keringat, layaknya
seekor cacing yang terkena air garam, gelisah dan gundah menyelimuti tubuhku.
Aku mengerti maksud hati ini, meski ia tidak dapat berbicara layaknya aku, namun
sinyal-sinyal itu selalu terasa di hatiku. Hingga akhirnya, aku pun tak kuasa
menahan rasa itu, memaksaku untuk langsung mengucapkannya. Dan tepat hari itu, hari
di mana aku dan tari beristirahat untuk tidak menuntut ilmu. Aku kirimkan secarik
pesan spesial untuknya, pesan yang mana isinya belum pernah kubuat seumur hidupku.
Harapanku, tari dapat merespon pesan itu sesuai dengan imajinasi yang sudah
kurangkai sebelumnya. Niatku ingin memberi separuh kebun bunga dalam hatiku
yang telah ia rawat dengan sepenuh hatinya. Dengan maksud agar ia juga dapat
menikmati indahnya kebun bunga itu sambil menatap indahnya binar-binar cahaya
mentari. Imajinasiku yang mulai meluas seketika terputus akibat bunyi keras dari
bell notifikasi pesanku. Bell yang menandakan sebuah pesan masuk di kotak
pesanku. Dengan sigap dan tanpa pikir panjang aku langsung membukanya, ternyata
itu adalah respon pesanku dari tari. Dengan semangat aku langsung membacanya.
Secarik pesan itu mengisyaratkan bahwa tari telah menerimaku sebagai pendamping
barunya, serta di akhir pesan itu, ia menyisipkan sebuah gambar wajah dengan
pipi memerah yang tersipu malu. Menandakan bahwa dia mengiyakan permintaanku dengan
sedikit rasa malu. Setelah ku baca pesan itu, entah bagaimana aku dapat meluapkan
kegembiraan ini. Hingga aku lupa terhadap semua tugas-tugasku yang telah menumpuk,
lupa terhadap hutang-hutang temanku kepadaku yang hampir membuatku gila
bagaimana cara menagihnya. Seketika seluruh bunga dalam kebun bunga di hatiku
bermekaran. Detak jantungku kembali meningkat melampaui batas normal. Sempat
terbesit dalam pikiranku untuk berterimakasih terhadap cinta itu yang memaksaku
untuk segera mengungkapkan rasa ini. "untung langsung aku ungkapkan
perasaan ini dan tidak ku pendam-pendam". Ucapku dalam hati sambil senyum-senyum
sendiri.
Mulai hari itu, setiap
pagiku selalu ku awali dengan semangat, bahkan walau hanya sarapan dengan secarik
pesan dari tari yang sudah menunggu dan siap ku baca dalam kotak pesanku. Membuatku
bersemangat serta rajin untuk pergi menggali ilmu setiap hari bersamanya, hari
libur pun ingin rasanya aku hilangkan. Sehari tak bertemu dengannya, serasa aku mengunyah satu liter cabai tanpa
air minum setetes pun.
Dua bulan berjalan, aku
selalu berdampingan dengan tari. Ya tari, dialah kekasih pertama dan terbaik
bagiku. Tak ada sesosok wanita manapun yang mampu menggantikan posisinya saat
ini. Perhatiannya selalu ada untukku dan tak luput baginya, bagai jumlah titik
air hujan yang jatuh kebumi, hingga akupun tak sanggup untuk menghitung jumlahnya.
Membuat Rajutan benang-benang cinta ini semakin kuat.
Kini masuk bulan ke
empat, aku masih bersamanya dengan perasaan yang sama, tak berubah setitik pun.
Bulan ini masuk musim hujan, pasukan awan-awan kelabu berdatangan sepanjang hari, siap menutupi tiap-tiap helai cahaya mentari
yang berusaha menerobosnya. Udara mendung mulai terasa. Begitu pula dengan keanehan
perasaanku terhadap tari. Keanehan ini
muncul bukan tanpa sebab, dia yang awalnya selalu menghiburku, kini dia yang
haus akan hiburan. Setiap aku berusaha menghiburnya, dia selalu saja memasang
muka cemberut dengan tatapan kosong yang mengarah padaku. Dulu pesan yang ia
kirimkan kepadaku bagai sebuah puisi yang tiap kali aku membacanya, bunga dalam
hatiku selalu kembali bermekaran.
Namun kini, pesan-pesannya bak cerita horor
yang akupun takut untuk membacanya. Dulu yang tiap pesannya aku selalu
kewalahan untuk membaca per tiap katanya. Kini, walau seratus kali ku ulang tuk
membacanya pun aku masih sanggup. Kini hatiku mulai meneteskan air matanya,
meski tak terdengar suara tangisannya. Membuat 1001 pertanyaan kembali datang
menghampiriku dan bersarang dalam otakku. "apakah dalam hatinya sudah
tidak ada perasaan cinta untukku lagi". Ucapku dalam hati dengan pikiran kacau
entah kemana. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu langsung ku tepis jauh-jauh
sembari ku menghindarinya. "mungkin dia begitu karena lagi badmood, soalnya
mentari pagi nggak muncul-muncul karena terhalang awan mendung, dan dia paling
nggak suka kalau mentari tidak muncul. Akibatnya berimbas kepadaku, dia mulai
cuek denganku.
Mungkin benar karena itu ya?". Ucapku tegas dalam hati untuk
menepis semua pertanyaan yang bersarang di pikiranku. Musim hujan semakin menjadi-jadi,
awan gelap terus berdatangan dan hujan turun di mana-mana. Sepanjang hari mentari
tak memancarkan sinarnya walau hanya satu menit. Hubunganku dengan tari pun kini
rentan patah, aku berusaha tetap merawatnya, berharap retakan-retakan ini dapat
pulih kembali. Namun tari semakin cuek. Dia tidak peduli akan keberadaanku
meski perhatian dariku terus mengguyurnya. "ada apa ini sebenarnya, apakah
karena musim hujan dan mentari pagi tak kunjung menampakkan dirinya".
Ucapku dengan perasaan risau. Kini untuk bertemu sesaat saja pun enggan baginya
untuk melakukan. Setiap aku bertemu dengannya, dia selalu berusaha memalingkan
wajahnya. "ada apa sebenarnya ini tari, coba jelaskan baik-baik kepadaku".
Tanyaku kepadanya namun tidak di gubris. Musim hujan semakin lebat. Pesan-pesan
yang kukirim kepadanya pun tak kunjung ada balasan. Hatiku meringik, menangis tersedu-sedu,
sangat sulit untuk di tenangkan. Di malam hari aku menggigil kedinginan, sama halnya
di siang hari, angin kencang itu menusuk tulangku menembus jaket tebalku bagai
pisau yang begitu tajam. Karena
pesan-pesan dan perhatian yang mampu memberi kehangatan hilang entah kemana.
Hari itu aku bertemu langsung dengan tari, namun masih sama seperti biasa, dia
begitu cuek, raut masam belum terlepas dari wajahnya. Ia berjalan ke arahku. Semakin
dekat denganku nampak jelas terlihat matanya yang berkaca-kaca dengan bekas
tetesan air di pipinya. Ku melihat bunga mawar penuh duri tengah ia genggam erat.
Langsung di todongkannya bunga itu kepadaku, sambil ku lihat begitu banyak
goresan dan bercak tinta merah di tangannya akibat duri mawar itu. Dengan cepat
aku langsung menerima bunga mawar itu, tak peduli seberapa dalam duri bunga
mawar itu akan menusukku. "inilah bukti cintaku tari, kesusahanmu adalah kesusahanku
juga". Aku mengatakan itu pada tari, meski dia tak menggubrisku dan
langsung pergi dengan goresan dan tinta merah yang masih melekat di tangannya. Hujan
turun saat itu juga, membasahi pipiku, tak sanggup ku membendungnya. Bunga-bunga
dalam hatiku layu seketika, hatiku menjerit kesakitan, mendadak seluruh tubuhku
terasa dingin serta wajahku ikut pucat melihat tari pergi begitu saja tanpa
pesan ucapan yang keluar langsung dari mulutnya. Ia pergi entah kemana, awan itu
menariknya pergi.
Lambat laun hari-hariku
pudar, tak semangat melakukan apapun. Aku masih menatap kotak pesanku berharap
ada balasan darinya. Meski tak kunjung ada kabar darinya, aku tetap menata rapi
cinta dan harapan ini. Kususun di lemari jati agar tidak di makan rayap dan tak
cepat rusak. Dia pergi.. Ya,, dia pergi..
Sungai kecil melintasi kedua belah pipiku. Tak ada obat bagiku saat ini kecuali
kamu seorang tari. Ingin rasanya aku menancapkan seluruh duri bunga mawar yang
kau berikan ke tubuhku tepat di jantungku berharap langsung berhenti.
Kini kau pergi entah
kemana. Pergi tanpa alasan yang jelas. Mungkin Kau telah menemukan sebuah tempat,
yang mana di tempat itu mentari lebih indah dan mampu membuatmu tersenyum setiap
harinya. Dulu tari sangat membenci awan yang selalu menutupi mentari pagi, kini
aku yang sangat membenci awan karena telah membuat tari pergi.
Tari.. Ternyata kau hanya sesosok bidadari yang singgah
di duniaku untuk sementara saja, memberi kehangatan untukku. Yang sebelum
kedatanganmu, kau menyuruh mimpi itu agar menyampaikan pesan perihal sebuah pertemuan
ini. Dan semua itu hanyalah pesan sesaat di pagi hari. Tapi tenang tari, kau
jangan risau. Cinta ini bagai bola permata yang akan ku jaga selalu. Serta harapan
dan cerita kita semua tersusun rapi dalam lemari khususku. Agar ketika kau
kembali, kita hanya perlu membersihkannya saja dari debu-debu yang melekat. Aku
berharap kau kembali setelah musim hujan pergi, setalah awan-awan kelabu ini
bermigrasi. Kau menetap dan selamanya di sini. Aku di sini tari. Di teras tempat
awal kita bertemu.
Aku menunggumu, aku menantimu, harapanku ada padamu.
See you next soon. I am waiting for you***