Sabtu, 18 Mei 2019

PELANGI DAN SENJA By ANDRI ASTONO, S.Pd


PELANGI DAN SENJA 
By ANDRI ASTONO, S.Pd



           
Saat sendiri terkadang rasa bosan itu muncul, mengusik, hingga merusak waktu tidurku. Semua jadi membosankan seperti saat kamu mendengar cerita lucu, yang sebetulnya tidak lucu. Yang bahkan tidak mampu membuatmu tertawa. Saat teman-temanmu mengisahkan cerita bahagia mereka, dan kamu hanya bisa mendengar saja sambil bergumam “aku, kapan bisa bahagianya?”.
            “Kisah cinta yang tak pernah berakhir bahagia” mungkin itu judul yang pas untuk sebuah buku harian. Judul yang sangat menyakitkan. Namun waktulah yang mengajarku banyak hal. Matahari yang terbit setiap pagi, yang tampaknya tidak pernah bosan menyapaku. Senja yang datang dan menghilang digantikan malam pekat yang sepi. Bulan dan bintang yang selalu menemaniku bercerita, bercerita apa saja yang aku mau. Mereka tampaknya setia, walau saat mendung datang mereka tak mau menemaniku.
            Di bawah tiang bendera itu, adalah tempat yang nyaman. Tempat yang sangat nyaman. Jika kamu bertanya kepadanya, tentu dia tahu semua hal tentangku. Tapi aku yakin dia tidak akan mengatakan semuanya padamu, karena dia sudah berjanji padaku untuk menjaga rahasia ini.
            Meninggalkan dan ditinggalkan. Mana yang akan kamu pilih?. Kalau boleh jujur, aku lebih memilih ditinggalkan daripada meninggalkan. Tapi apa kamu yakin bisa memilih salah satunya?. Jika kamu tak pernah berada dalam lingkaran itu, kamu tidak akan bisa menjawab dengan tepat. Sebab meninggalkan ataupun ditinggalkan sama-sama menorehkan sebuah luka.
            Semua orang mengharapkan hidupnya bahagia. Tapi sayangnya “bahagia” itu seperti seekor ayam hutan yang sangat liar. Kamu harus jatuh bangun untuk mengejarnya. Mungkin saja kamu akan berhasil menangkapnya, dan kamu akan bahagia. Tapi bisa jadi kamu hanya akan mendapatkan luka yang menyakitkan dan kamu tak berhasil menangkapnya. Bahkan yang paling menyedihkan bahagia itu justru ditangkap oleh orang lain, dan kamu hanya gigit jari sambil membasuh luka.
            Perjalanan panjang dari masa ke masa mengajarku banyak hal. Bahagianya mencintai, sedihnya tak dicintai. Beratnya meninggalkan, dan sakitnya ditinggalkan. Masing-masing punya referensi tersendiri, punya pendapat sendiri hingga menghasilkan keputusan yang menurut kita itu tepat, walau tanpa disadari itu justru sangat menyakitkan untuk orang lain.
            “Kamu adalah orang yang paling jahat! Tau nggak? Kamu…. Jahat!” kata-kata itu adalah hadiah dari sebuah keputusan, dan masih banyak kata-kata yang lebih sadis dari itu. Aku tak membenarkan diriku atas apa yang aku putuskan. Meski menurutku ini adalah yeng terbaik, tetap saja orang lain terluka olehnya. Aku tidak bisa terus bersamanya dan menganggap dia bahagia bersamaku. Setiap tetesan air mata yang justru berawal dari sikapku. Ya, aku bukan seseorang yang bisa mengendalikan perasaan orang lain. Aku tak ingin memiliki hati seseorang. aku tidak bisa membelenggu perasaan, pemikiran, dan kebebasannya. karena dia adalah dia. Dia bukan aku. Dia punya pikiran sendiri. Dia punya keinginan sendiri.
            Waktu menyeretku ke dalam kehidupan yang rumit. Membentang asa tapi sulit kubahasakan. Udara dingin menyeka kulit tipis tanpa balutan kain penyekat hawa dingin dan tubuh yang tampak ringkih. Tetesan-tetesan air hujan yang tadinya kusangka rindu, ternyata hanya candu. Candu yang menggerogoti semangatku.
            Hujan menyisakan warna yang indah. Tampak pelangi membujur dari barat ke timur. Melengkung indah disertai paduan warna yang menawan. Sepertinya bahagia jadi pelangi. Pelangi yang selalu disukai banyak orang. Tapi apakah besok pelangi itu datang lagi? Aku tak tahu.
            Hari ini aku ke pantai. Melihat deru ombak yang semarak di antara bebatuan tebing yang mengangakan mulutnya, melahap deburan ombak yang datang. Kulihat anak kecil membawa tas merah, dengan langkah bahagia, mengayun-ayunkan tangannya menyapu hempasan angin pantai yang coba menekannya. Aku melihatnya tersenyum manis. Sepertinya tak ada kepahitan yang dia rasakan. Mungkin dia belum mengenal cinta, hingga dia bisa sebahagia ini.
            Aku termenung di seonggok tunggak yang tampaknya sudah sangat lama berada di tempat itu. Rasanya kalau aku jadi dia, aku tak akan mampu untuk terus bertahan di sana. Saat hari masih cerah ia banyak ditemani dan dihibur oleh ratusan pasang mata yang mengajaknya foto bersama. Tapi ketika senja mulai datang, satu persatu meninggalkannya sendiri terpaku di bumi. Tak ada yang sekedar menyapanya mengucapkan salam perpisahan. “Ah… aku tak mau jadi tunggak”.
            Aku beranjak dari tempat itu, menjauh dari kerumunan masa yang masih riuh saja. Sambil berjalan pelan, kuseretkan kakiku ke pasir pantai yang tampak mengkilap di bawah terik sang surya. Kuharap dia bangun dan mengajakku bercerita. Bercerita apa saja tentang kisahnya, yang penting ada temanku bercerita. Tapi tampaknya pasir juga enggan berbicara padaku. Menyapaku saja enggan.
            Kulihat sepesang sepatu lusuh di tepi pantai. Tampaknya sepatu itu milik pengunjung yang sengaja membuangnya, atau bisa jadi lupa membawanya pulang. Mataku mengamati sepasang sepatu lusuh itu dengan berjuta pikiran yang merajut, mencoba menghubung-hubungkan hal demi hal yang berkaitan. Proses demi proses yang membentuk sebuah cerita yang kronologis memperberat kemampuan otakku. Di antara sepasang sepatu lusuh itu ternyata ada sebuah sandal yang hanya sebelah saja. “Jangan-jangan sandal ini mau memisahkan sepasang sepatu itu?” gumamku. Aku berjongkok dan mengambil sebuah sandal yang tampak hanya seorang diri. “Tempatmu bukan di sini teman” bisikku padanya. Entah dia punya telinga atau tidak yang jelas aku hanya ingin memberitahunya tentang sebuah kehidupan. Dimana kebahagiaan orang lain itu penting untuk dipertimbangkan. Jika dia bahagia dengannya, biarkan dia bahagia. Jangan ganggu mereka. Jangan sampai karena cinta kamu jadi egois memikirkan kebahagiaanmu, dengan memaksakan keinginan. Jika kamu mencintainya, biarkan dia bahagia dengan pilihannya.

            Aku membawanya menjauh dari sepasang sepatu itu. Aku tak ingin mereka terganggu dengan hadirnya sebuah sandal yang tidak mereka kenal.
            Matahari mulai condong ke barat, bersama awan yang berarak rapi membentuk berbagai pola yang ketika diamati bisa berbentuk apa saja yang kau bayangkan. Kamu bisa melihat ikan, sapi, sendok, gelas, sedotan, dan apa saja yang ingin kamu imajinasikan.
            Langit tampak berpendar dengan warna merah yang mewah. Senja mulai datang disertai sayup-sayup angin melambai dedaunan di sepanjang pantai. Aku bahagia melihat senja yang datang setiap sore. Meski ia pergi, ia selalu datang kembali sesuai dengan janjinya. Karena itulah aku lebih percaya senja dari pada pelangi.
***

Mengelola Informasi dalam Ceramah

 BAB III 1. Mengelola Informasi dalam Ceramah          Pernahkan kamu mendengar ceramah?          Apakah kamu suka ketika mendengar ceramah?...