PELANGI DAN SENJA
By ANDRI ASTONO, S.Pd
Saat sendiri terkadang rasa bosan
itu muncul, mengusik, hingga merusak waktu tidurku. Semua jadi membosankan
seperti saat kamu mendengar cerita lucu, yang sebetulnya tidak lucu. Yang
bahkan tidak mampu membuatmu tertawa. Saat teman-temanmu mengisahkan cerita
bahagia mereka, dan kamu hanya bisa mendengar saja sambil bergumam “aku, kapan
bisa bahagianya?”.
“Kisah
cinta yang tak pernah berakhir bahagia” mungkin itu judul yang pas untuk
sebuah buku harian. Judul yang sangat menyakitkan. Namun waktulah yang
mengajarku banyak hal. Matahari yang terbit setiap pagi, yang tampaknya tidak
pernah bosan menyapaku. Senja yang datang dan menghilang digantikan malam pekat
yang sepi. Bulan dan bintang yang selalu menemaniku bercerita, bercerita apa
saja yang aku mau. Mereka tampaknya setia, walau saat mendung datang mereka tak
mau menemaniku.
Di bawah tiang bendera itu, adalah
tempat yang nyaman. Tempat yang sangat nyaman. Jika kamu bertanya kepadanya,
tentu dia tahu semua hal tentangku. Tapi aku yakin dia tidak akan mengatakan
semuanya padamu, karena dia sudah berjanji padaku untuk menjaga rahasia ini.
Meninggalkan dan ditinggalkan. Mana yang
akan kamu pilih?. Kalau boleh jujur, aku lebih memilih ditinggalkan daripada
meninggalkan. Tapi apa kamu yakin bisa memilih salah satunya?. Jika kamu tak
pernah berada dalam lingkaran itu, kamu tidak akan bisa menjawab dengan tepat.
Sebab meninggalkan ataupun ditinggalkan sama-sama menorehkan sebuah luka.
Semua orang mengharapkan hidupnya
bahagia. Tapi sayangnya “bahagia” itu seperti seekor ayam hutan yang sangat
liar. Kamu harus jatuh bangun untuk mengejarnya. Mungkin saja kamu akan
berhasil menangkapnya, dan kamu akan bahagia. Tapi bisa jadi kamu hanya akan
mendapatkan luka yang menyakitkan dan kamu tak berhasil menangkapnya. Bahkan
yang paling menyedihkan bahagia itu justru ditangkap oleh orang lain, dan kamu
hanya gigit jari sambil membasuh luka.
Perjalanan panjang dari masa ke masa
mengajarku banyak hal. Bahagianya mencintai, sedihnya tak dicintai. Beratnya meninggalkan,
dan sakitnya ditinggalkan. Masing-masing punya referensi tersendiri, punya
pendapat sendiri hingga menghasilkan keputusan yang menurut kita itu tepat,
walau tanpa disadari itu justru sangat menyakitkan untuk orang lain.
“Kamu adalah orang yang paling
jahat! Tau nggak? Kamu…. Jahat!” kata-kata itu adalah hadiah dari sebuah
keputusan, dan masih banyak kata-kata yang lebih sadis dari itu. Aku tak
membenarkan diriku atas apa yang aku putuskan. Meski menurutku ini adalah yeng
terbaik, tetap saja orang lain terluka olehnya. Aku tidak bisa terus bersamanya
dan menganggap dia bahagia bersamaku. Setiap tetesan air mata yang justru
berawal dari sikapku. Ya, aku bukan seseorang yang bisa mengendalikan perasaan
orang lain. Aku tak ingin memiliki hati seseorang. aku tidak bisa membelenggu
perasaan, pemikiran, dan kebebasannya. karena dia adalah dia. Dia bukan aku. Dia
punya pikiran sendiri. Dia punya keinginan sendiri.
Waktu menyeretku ke dalam kehidupan
yang rumit. Membentang asa tapi sulit kubahasakan. Udara dingin menyeka kulit
tipis tanpa balutan kain penyekat hawa dingin dan tubuh yang tampak ringkih. Tetesan-tetesan air hujan yang tadinya
kusangka rindu, ternyata hanya candu. Candu yang menggerogoti semangatku.
Hujan menyisakan warna yang indah. Tampak
pelangi membujur dari barat ke timur. Melengkung indah disertai paduan warna
yang menawan. Sepertinya bahagia jadi pelangi. Pelangi yang selalu disukai
banyak orang. Tapi apakah besok pelangi itu datang lagi? Aku tak tahu.
Hari ini aku ke pantai. Melihat deru
ombak yang semarak di antara bebatuan tebing yang mengangakan mulutnya, melahap
deburan ombak yang datang. Kulihat anak kecil membawa tas merah, dengan langkah
bahagia, mengayun-ayunkan tangannya menyapu hempasan angin pantai yang coba
menekannya. Aku melihatnya tersenyum manis. Sepertinya tak ada kepahitan yang
dia rasakan. Mungkin dia belum mengenal cinta, hingga dia bisa sebahagia ini.
Aku termenung di seonggok tunggak
yang tampaknya sudah sangat lama berada di tempat itu. Rasanya kalau aku jadi
dia, aku tak akan mampu untuk terus bertahan di sana. Saat hari masih cerah ia
banyak ditemani dan dihibur oleh ratusan pasang mata yang mengajaknya foto
bersama. Tapi ketika senja mulai datang, satu persatu meninggalkannya sendiri
terpaku di bumi. Tak ada yang sekedar menyapanya mengucapkan salam perpisahan. “Ah…
aku tak mau jadi tunggak”.
Aku beranjak dari tempat itu,
menjauh dari kerumunan masa yang masih riuh saja. Sambil berjalan pelan,
kuseretkan kakiku ke pasir pantai yang tampak mengkilap di bawah terik sang
surya. Kuharap dia bangun dan mengajakku bercerita. Bercerita apa saja tentang
kisahnya, yang penting ada temanku bercerita. Tapi tampaknya pasir juga enggan
berbicara padaku. Menyapaku saja enggan.
Kulihat sepesang sepatu lusuh di
tepi pantai. Tampaknya sepatu itu milik pengunjung yang sengaja membuangnya,
atau bisa jadi lupa membawanya pulang. Mataku mengamati sepasang sepatu lusuh
itu dengan berjuta pikiran yang merajut, mencoba menghubung-hubungkan hal demi
hal yang berkaitan. Proses demi proses yang membentuk sebuah cerita yang
kronologis memperberat kemampuan otakku. Di antara sepasang sepatu lusuh itu
ternyata ada sebuah sandal yang hanya sebelah saja. “Jangan-jangan sandal ini
mau memisahkan sepasang sepatu itu?” gumamku. Aku berjongkok dan mengambil
sebuah sandal yang tampak hanya seorang diri. “Tempatmu bukan di sini teman”
bisikku padanya. Entah dia punya telinga atau tidak yang jelas aku hanya ingin
memberitahunya tentang sebuah kehidupan. Dimana kebahagiaan orang lain itu
penting untuk dipertimbangkan. Jika dia bahagia dengannya, biarkan dia bahagia.
Jangan ganggu mereka. Jangan sampai karena cinta kamu jadi egois memikirkan
kebahagiaanmu, dengan memaksakan keinginan. Jika kamu mencintainya, biarkan dia
bahagia dengan pilihannya.
Aku membawanya menjauh dari sepasang
sepatu itu. Aku tak ingin mereka terganggu dengan hadirnya sebuah sandal yang
tidak mereka kenal.
Matahari mulai condong ke barat,
bersama awan yang berarak rapi membentuk berbagai pola yang ketika diamati bisa
berbentuk apa saja yang kau bayangkan. Kamu bisa melihat ikan, sapi, sendok,
gelas, sedotan, dan apa saja yang ingin kamu imajinasikan.
Langit tampak berpendar dengan warna
merah yang mewah. Senja mulai datang disertai sayup-sayup angin melambai
dedaunan di sepanjang pantai. Aku bahagia melihat senja yang datang setiap
sore. Meski ia pergi, ia selalu datang kembali sesuai dengan janjinya. Karena itulah
aku lebih percaya senja dari pada pelangi.
***