A.
Unsur-Unsur
Prosa Fiksi
Secara garis
besar unsur-unsur prosal fiksi Nurgiyantoro (2000: 56) dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yang meliputi segala
unsur yang membentuk struktur karya sastra tersebut seperti tema, plot atau
alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.
Unsur
ekstrinsik adalah unsur yang ikut mempengaruhi kehadiran suatu cipta sastra
dari luar atau merupakan latar belakang penciptaan suatu cipta sastra, misalnya
faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor
sejarah, faktor ilmu jiwa (psikologi) dan pendidikan, faktor keagamaan, dan
tata nilai yang dianut dalam masyarakat.
Berikut
dipaparkan unsur-unsur intrinsik prosa fiksi yang meliputi tema, plot atau alur,
tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa, amanat.
a.
Tema
Tema
adalah ide yang mendasari karya sastra. Istilah tema berasal dari “thema” (Inggris), yaitu ide yang
menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan
suatu dimensional yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu,
pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat.
Jadi, tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, sasaran/tujuan
penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur
(Zulfahnur, 1996:25).
Dalam
cerita rekaan ada yang diceritakan, atau yang diceritakan itu dapat dikatakan
tema. Kata tema berasal dari kata latin thema yang berarti pokok pembicaraan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1986:104) dikemukakan bahwa
tema berarti: (1) pokok pikiran, dasar cerita, (yang dipercakapkan dipakai
sebagai dasar pengarang, mengarang sejak dan sebagainya) dan (2) latihan
menerjemahkan dari bahasa sendiri kebahasa asing.
Sumardjo
(1986:56) mengemukakan bahwa tema adalah ide pengarang. Pengarang dalam menulis
cerita bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan suatu pendapat. Kenny
dan Stanton (Nurgiantoro, 2000:67) mengemukakan bahwa tema adalah makna yang
dikandung cerita yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Tema
merupakan unsur yang amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu
pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya bagaimana cerita dibangun dan
berakhir.
Bertolak
dari pandangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu
persoalan atau pokok pembicaraan yang mendasari cerita.
Secara garis besar , tema dapat digolongkan ke dalam tema
utama (mayor) dan tema turunan (minor). Tema utama merupakan pokok cerita
bermakna yang menjadi fondasi utama penceritaan, sedangkan tema turunan menjadi
tema yang berfungsi menjadi penguat fondasi utama. Beberapa contoh tema utama
adalah tema social (Para Piyayi), tema sejarah (Kuantar ke Gerbang), tema
psikologis (Jalan Tak Ada Ujungnya), dan tema ketuhanan (Robohnya Surau Kami).
b.
Alur/Jalan
Cerita
Alur cerita
adalah sambung-sinambung peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat
yang terdapat dalam cerita (Chamdiah dkk, 1981: 8). Hamzah (1985: 96)
mengemukakan plot sebagai bagan atau kerangka kejadian dimana para peran
berbuat. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa di dalam skenario. Serangkaian
hubungan sebab akibat yang bergerak dari awal hingga akhir. Hal ini sejalan
dengan pandangan Stanton (Nurgiantoro, 2000: 133) bahwa alur adalah cerita
berisikan urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat. Peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lainnya. Karena alur
dibangun berdasarkan hubungan sebab akibat, maka alur tidak dapat berdiri
sendiri. Plot selalu berhubungan dengan elemen lainnya, seperti watak, tokoh,
setting, tema dan konflik.
Menurut
Tasrif (Nurgiantoro, 2000: 134) setiap cerita biasanya dapat dibagi dalam lima
bagian, yaitu:
1. Situation
(pengarang mulai melukiskan suatu kejadian),
2. Generation circumstances
(peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),
3. Rising action (keadaan mulai
memuncak),
4. Climax (puncak
peristiwa) dan
5. Denounement (pemecahan soal
dari semua peristiwa).
Bertolak
dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah unsur penceritaan
prosa fiksi yang didalamnya berisi rangkaian kejadian peristiwa yang disusun
berdasarkan hokum sebab akibat secara logis.
Secara
kronologis alur dapat dibedakan menjadi dua yaitu alur maju dan alur mundur.
Alur cerita yang dimulai masa kini, lalu diungkapkan masa atau rencana
mendatang, disebut alur maju atau alur progresif. Alur cerita dengan tolehan
dimasa lalu dikenal dengan nama sorot balik atau alur mundur. Kedua alur
tersebut dapat dipakai secara bersama-sama atau digabungkan. Alur semacam ini lebih
dikenal dengan alur campuran (Surana, 2001: 55).
c.
Tokoh
dan Penokohan
a)
Tokoh
Tokoh
adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh lazim pula disebut sebagai
pelaku cerita. Tokoh ini pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat pula
berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh tersebut bersifat rekaan
semata-mata, tetapi bisa jadi ada kemiripannya dengan individu tertentu dalam
hidup ini. Meskipun bersifat rekaan, namun perlu ada relevansi antara tokoh itu
dengan pembaca.
1)
Tokoh
Sentral dan Tokoh Bawahan
Berdasarkan
fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan antara tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Pelaku utama atau yang memainkan peran pimpinan, yang lazim bertindak
sebagai pembawa tema cerita disebut tokoh sentral atau protagonis. Pelaku yang
tidak sentral, yang bertindak sebagai pelaku pendukung pelaku utama, dimana
kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang tokoh utama disebut tokoh
bawahan.
2)
Tokoh
Datar dan Tokoh Bulat
Nurgiyantoro
(2000: 181-184) berpendapat bahwa cara menampilkan pengembangan watak
tokoh-tokoh dalam cerita dapatlah dibedakan antara tokoh datar dantokoh bulat.
Tokoh datar biasa pula disebut tokoh sederhana (simple atau flat character), sedangkan tokoh
bulat biasa disebut tokoh kompleks (complex
atau round character)
Tokoh
datar ialah tokoh didalam cerita rekaan yang disoroti atau diungkapkan satu
segi wataknya saja. Itulah sebabnya penampilan tokoh datar lebih statis, jarang
atau sedikit sekali ditemukan perubahan wataknya dalam perkembangan cerita
Nurgiyantoro (2000: 182). Lebih jauh Nurgiantoro (2000: 183) berpendapat bahwa
tokoh bulat atau tokoh kompleks ialah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu
ciri atau segi wataknya, sehingga tokoh itu bisa dibedakan dengan tokoh-tokoh
lainnya. Tokoh bulat tampil dengan watak yang kompleks terlihat segi kelebihan
dan kekurangannya yang ditampilkan secara berangsur-angsur sehingga merupakan
kekomplekan yang padu.
3)
Tokoh
Protagonis
Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara popular
disebut hero, (Nurgiyantoro, 2000: 178). Tokoh protagonist menampilkan sesuatu
yang sesuai dengan pandangan kita, dan harapan-harapan kita.
Sebagai
tokoh protagonis akan mengalami konflik dan ketegangan. Ini disebabkan adanya
tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonist. Konflik yang dialami tokoh
protagonis tidak hanya yang disebabkan tokoh antagonis, namun dapat disebabkan
oleh hal-hal yang diluar individualitas seseorang, misalnya bencana alam,
kecelakaan, aturan-aturan sosial dan sebagainya.
4.
Tokoh
Antagonis
Tokoh
antagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang tidak sesuai dengan kehendak
pembaca. Dalam karya sastra tradisional biasanya pertentangan antara tokoh protagonis
dan tokoh antagonis jelas sekali. Protagonis selalu mewakili yang baik,
antagonis selalu mewakili yang jahat.
b)
Penokohan
Sudjiman
(1988:23) memberikan definisi bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh oleh pengarangnya. Watak tokoh itu adalah kualitas
tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain.
Lebih
lanjut Hudson (dalam Sudjiman, 1988: 24-26), dalam penyajian watak tokoh
pengarang mempunyai cara tersendiri. Cara pengarang menyajikan watak tokoh dan
menciptakan citra tokoh dalam karangannya merupakan metode penokohan.
Macam-macam metode penokohan adalah sebagai berikut:
1)
Metode
Analitis
Metode
analitis adalah cara pengarang memaparkan watak tokoh dalam cerita rekaan
dengan menambahkan komentar tentang watak tokoh tersebut. Jadi pengarang dapat
langsung memaparkan watak atau karakter tokoh, pengarang langsung menyebut atau
mengisahkan sifat-sifat tokoh, watak atau karakter tokoh, hasrat, pikiran dan
perasaannya. Pengarang menyebutkan atau memberi komentar bahwa tokoh tersebut
keras hati, keras kepala, penyayang, kondisi fisik tokoh dan sebagainya. Semua
itu digambarkan secara analitis, terperinci, halus dan meyakinkan. Metode ini
biasa disebut metode langsung, metode perian, atau metode diskursif.
2)
Metode
Dramatis
Metode
dramatis disebut pula metode tak langsung atau metode ragaan. Penggambaran
perwatakan disampaikan secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang
tidak diceritakan langsung tetapi hal itu disampaikan melalui (1) pilihan nama
tokoh, misalnya nama semacam Sarinem untuk babu, Mince untuk gadis agak-agak
genit, Bonar untuk tokoh yang garang dan gesit dan seterusnya; (2) melalui
penggambaran fisikatau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap
tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya; (3) melalui dialog, baik dialog
tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain.
Dalam
metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan
lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya
serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh cakapan atau lakuan tokoh
demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh pengarang dapat menyiratkan
sifat wataknya.
3)
Metode
Kontekstual
Selain kedua metode penokohan di atas,
terdapat pula metode kontekstual. Metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan
dari bahasa yang digunakan pengarang mengacu kepada tokoh. Kalau misalnya
pengarang menggambarkan lakuan tokoh A dengan kata-kata “Serigala itu menjilati
seluruh tubuh wanita itu dengan pandangannya yang liar” dapat dikatakan
bagaimana tokoh A tersebut.
a.
Latar
Unsur
fiksi yang menunjukkan pada kita dimana dan kapan kejadian-kejadian dalam
cerita berlangsung disebut latar. Sebuah cerita haruslah terjadi di sebuah
tempat dan pada waktu tertentu.
tumpu mengarah pada pengertian
tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritaka.
Dalam
cerita fiksi, biasanya latar dibedakan empat tipe, yaitu latar alam (geographic setting), latar waktu
(temporal setting), latar
sosial (social setting), dan
latar ruang (spatial setting).
Latar
berfungsi untuk menghidupkan cerita dan merupakan salah satu sarana untuk
membangun suasana yakni suasana yang menimbulkan bayangan kesan atau tanggapan
sepintas kepada para pembaca yang menikmati karya sastra tersebut sehingga apa
yang dialami dan dirasakan oleh para pelaku dapat dirasakan juga oleh pembaca.
1)
Latar
Tempat
Kehadiran latar tempat dalam cerpen
bukan tanpa tujuan yang pasti. latar tempat mempengaruhi bagaimana kondisi sang
tokoh diciptakan. Secara sederhana, latar tempat akan mempengaruhi gaya maupun
emosi tokoh dalam berbicara. Contohnya, latar dengan situasi di gunung. Begitu
pula latar dengan tempat yang khas, akan berbeda dengan kondisi tempat lainnya.
Salah satu contohnya, tokoh yang hadir dengan nama Ujang, akan berbeda halnya
dengan latar yang menggunakan tokoh ida bagus. Para pembaca cerpen sudah
mempunyai pengetahuan awal mengenai kedua nama tersebut. Ujang berasal dari
tanah Sunda adapun Ida Bagus berasal dari Bali.
2)
Latar
Waktu
Latar
waktu menyangkut kapan cerita dalam cerpen terjadi. latar waktu mempengaruhi
bagaimana cara tokoh bertindak. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan
contoh perbedaan cerita, dengan latar yang terjadi zaman 1930-an dengan latar
2000-an. Hal ini dapat diamati dengan cara berbicara tokoh maupun kondisi
lingkungan saat itu.
3)
Latar
Sosial
Latar
sosial yang terjadi pada waktu kejadian didalam cerpen terwakili oleh tokoh.
Seperti contoh pada cerpen “shalawat badar” maupun “kisah dikantor pos” dapat
kita ketahui bagaimana setting sosial masyarakat kelas bawah mempengaruhi kita
dalam mempengaruhi kita dalam menghadapi kenyataan sehari-hari di kehidupannya.
Nilai kehidupan yang dapat kita ambil pun tentunya akan lain lagi jika
menggunakan setting masyarakat kelas atas.
d.
Sudut
Pandang
Sudut pandang berhubungan
dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen. Cara yang dipilih oleh
pengarang. Akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini disebabkan
watak dan pribadi si pencerita (pengarang), akan banyak menentukan cerita yang
dituturkan pada pembaca. Tiap orang mempunyai pandangan hidup, cara berpikir,
kepercayaan maupun sudut emosi yang berbeda-beda. Penentuan pengarang tentang
soal siapa yang akan menceritakan kisah, akan menentukan bagaimana sebuah
cerpen bisa terwujud.
Sudut
pandang pada intinya adalah visi pengarang. Sudut pandang yang diambil
pengarang tersebut, berguna untuk melihat suatu kejadian cerita. Tentunya harus
dibedakan antara pandangan pengarang sebagai pribadi dengan teknis dia
bercerita dalam cerpen. Sudut pandang memegang peranan penting akan
kejadian-kejadian yang akan disajikan dalam cerpen, menyangkut masalah ke mana
pembaca akan dibawa, menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.
Adapun sudut pandang pengarang
sendiri ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
1) Objective
Point Of View
dalam
teknik ini, pengrang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti melihat film
dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama
sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dengan demikian, pembaca
dapat menafsirkan sendiri bagaimana pandangannya terhadap laku tiap tokoh.
Dengan melihat perbuatan orang lain tersebut, kita menilai kehidupan jiwanya,
kepribadiannya, jalan pikirannya, ataupun perasaannya.
Motif
tindakan pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Dalam hal ini,
pembaca dapat mengambil tafsiran sendiri dari dialog antar tokoh, maupun tindak-tanduk yang dilakukan tiap
tokoh. Penarang paling hanya memberikan sedikit gambar mengenai kondisi para
tokoh, untuk “memancing” pembaca mengetahui lebih jauh tentang tokoh-tokoh yang
ada dalam cerita.
2) Omniscient
Point Of View
Dalam
teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia bisa menciptakan
apa saja yang ia perlukan, untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek
yang diinginkannya. Ia bisa keluar-masukkan para tokohnya. Ia bisa mengemukakan
perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran para pelaku cerita. Pengarang juga bisa
mmengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan, pengarang bisa bicara langsung
dengan pembacanya.
Ciri
omniscient point of view lebih
cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, ataupun humoris. Teknik ini
biasa digunakan untuk hal-hal yang bersifat informatif bagi pembaca., yang
kiranya memang pembaca belum begitu banyak mengetahui.
3)
Point Of View Orang Pertama
Teknik
ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang “aku”. Hal ini seperti seseorang
mengajak bicara pada orang lain. Jadi, bukan pengalaman orang lain yang
diceritakan. Dengan teknik ini pembaca diajak kepusat kejadian, melihat,
merasakan melalui mata, dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan.
Tentunya pembaca juga harus cerdas jangan sampai pikiran “aku” disamakan dengan
pikiran si pengarang itu sendiri.
Teknik
sudut pandang seperti ini, sangat cocok untuk cerpen menceritakan masalah
kejiwaan (psikoligis) sang tokoh. Pembaca dibawa hanyut dalam tiap gerak emosi
sang tokoh.
4)
Point Of View Orang Ketiga
Teknik
ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga.
Jadi pengarang hanya “menitipkan” pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang
ketiga (“Dia”) dapat juga berupa nama orang. Adapun perkembangan emosi tokoh
dalam membentuk konflik, dapat dilihat dalam hubungannya antara tokoh utama
“dia” dengan tokoh lain.
Dengan
menggunakan tokoh ini pengarang bisa lebih leluasa dalam menceritakan atau
menggambarkan keadaan tanpa terpaku pada pandangan pribadi. Ini berbeda dengan
menggunakan tokoh “aku”. Sang tokoh utama seolah-olah dapat berkembang sendiri,
dengan pemikirannya sendiri. Dengan demikian, pembaca dibawa untuk memahami
sendiri bagaimana tokoh “dia” bertindak, tanpa harus memikirkan peranan sang
pengarang terhadap tokoh tersebut.
e.
Gaya
Bahasa
Gaya
bahasa adalah bahasa yang digunakan untuk meningkatkan efek dalam jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda
atau hal lain yang lebih umum (Tarigan 1993: 5). Secara singkat dikatakan bahwa
gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Mulyana
(1996: 23) mengatakan bahwa gaya bahasa itu merupakan susunan perkataan yang
terjadi karena perasaan hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan
suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Menurut sumardjo dan saini (1986:
92) gaya bahasa adalah cara khas pengungkapan seorang. Cara bagaimana seorang
pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya dalam
karyanya. Dengan kata lain gaya bahasa adalah pribadi pengarang itu sendiri.
Surana
(2001: 12) arti gaya bahasa secara khusus ialah semacam cara menyatakan hal
atau peristiwa yang sama. Tidak semua sastrawan memakai cara-cara yang sama
untuk menyatakan suatu maksud yang sama sedangkan dalam arti luasa sebenarnya
kiasan.
Demikianlah
sebenarnya berbicara tentang gaya bahasa adalah berbicara tentang kehidupan
pemakaian bahasa yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan, tetapi efektif dan
membangun lukisan deskripsi sesuatu secara konkrit dalam imajinasi. Keindahan
disini adalah keseimbangan, proporsional, harmonisasi, dan menyatu keindahan
bahasa, dicapai oleh susunan arti dan rasa yang tepat (ahmadi, 1991: 81).
f.
Amanat
Amanat
adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini
pengarang “menitipkan” nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen
yang dibaca. Amanat menyangkut, bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi
cerpen yang dibaca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari
cerpen yang dibacanya. Pesan-pesan dalam cerpen hadir secara tersirat dalam
keseluruhan isi cerita.
Berbicara
tentang amanat sebuah cerita, Sudjiman (1988:57) mengemukakan bahwa dari sebuah
karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat. Amanat adalah pesan yang
ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca cerita yang ditampilkan.
Seirama dengan hal tersebut Esten (1987:91) berpendapat bahwa amanat adalah
pemecahan dan jalan keluar yang diberikan pengarang didalam sebuah karya sastra
terhadap semua yang dikemukakan. Jadi amanat merupakan jalan keluar yang
diberikan pengarang terhadap suatu permasalahan dalam cerita.